REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Belum lama ini bahasa Indonesia berhasil disahkan sebagai bahasa resmi pada The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Hal ini berarti bahasa Indonesia Indonesia menduduki bahasa resmi ke-10 yang diresmikan setelah bahasa Arab, Italia, dan Portugis.
Dosen Bahasa Indonesia dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), M. Isnaini, mengaku turut bangga. Hal itu tidak lepas dari upaya pemerintah mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi sidang umum UNESCO.
Menurut dia, memang sangat layak bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi sidang umum UNESCO. Penutur bahasa ini bahkan telah mencapai lebih dari 200 juta orang. "Dan punya lebih dari 100.000 kosa kata,” katanya.
Selain itu, pria disapa Krishna ini menjelaskan, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di lebih dari 48 negara di seluruh dunia. Angka penuturnya juga mencapai 275 juta yang terdiri atas penutur lokal dan mancanegara.
Keberhasilan ini juga selaras dengan pesan yang tertulis di Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009. Aturan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia secara bertahap dengan dijadikan bahasa internasional yang berkelanjutan dan sistematis.
Menurut dia, terdapat berbagai dampak atas ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi UNESCO. Pada bidang ekonomi misalnya, penetapan ini dapat meningkatkan kerja sama pelaku perdagangan. "Di mana para ekspatriat yang bekerja di Indonesia diharuskan menguasai bahasa Indonesia," jelasnya dalam pesan resmi yang diterima Republika.
Sementara itu, di bidang budaya, kata dia, ini menjadi jalan yang bagus untuk memperkenalkan budaya Indonesia yang begitu banyak, baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun untuk mewujudkannya, pemerintah dan masyarakat perlu menguatkan atensi bahasa Indonesia agar semakin dikenal dunia. Salah satu program yang digalakkan pemerintah adalah program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) yang ada di berbagai universitas.
Menurut dia, penetapan ini harus diikuti dengan upaya masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, bukan malah meninggalkannya. Ia berpesan agar anak-anak muda tidak merusak citra bahasa asli Indonesia dengan bahasa-bahasa gaul yang cenderung merusak tatanan bahasa Indonesia.
Keisha menilai, kondisi tersebut bukan berarti bahasa gaul seperti ini tidak boleh digunakan untuk berkomunikasi. Namun, alangkah baiknya berupaya maksimal memakai bahasa Indonesia yang lazim dan baik sebagai bahasa komunikasi untuk menjaga keaslian bahasa.