Kamis 16 Nov 2023 19:01 WIB

Hati-Hati, Peneliti BRIN Ingatkan Masyarakat Waspadai Potensi Hujan Ekstrem

Menurut peneliti BRIN potensi cuaca ekstrem bisa dikenali dari warna awan sejak pagi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Orang-orang memegang payung di bawah hujan, melintasi jalan yang sibuk di Jakarta. (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Ahli Utama Bidang Klimatologi, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menjelaskan cara mengenali tanda cuaca ekstrem dari awan. Tanda-tanda itu biasanya terdapat pada beberapa awan seperti nimbostratus, altocumulus, dan cumulonimbus. Hal itu dapat dimonitor melalui satelit.

“Awan nimbostratus umumnya biasa dikenali sebagai awan hujan atau awan mendung. Awan ini berwarna abu-abu yang merata dan terlihat beberapa waktu sebelum hujan turun,” jelas Erma dikutip dari laman BRIN, Kamis (16/11/2023).

Baca Juga

Sementara awan altocumulus, kata dia, berbentuk bulatan-bulatan kecil layaknya kapas dan menyebar luas di langit dengan jumlah gumpalan yang banyak. Menurut Erma, jika terlihat di pagi hari, maka biasanya pada sore hari kemungkinan akan ada hujan badai.

Untuk awan cumulonimbus, memiliki bentuk lebat dan padat, dan memiliki serat halus di bagian atasnya. Dia menjelaskan, awan itu pada bagian bawahnya seperti tampak koyak dan berwarna gelap. Terkadang terlihat seperti pohon beringin atau jamur raksasa.

“Bagian atas awan ini terdiri dari awan es yang menyebar secara horizontal dalam bentuk landasan atau anvil. Awan ini berpotensi menghadirkan hujan ekstrem karena di dalamnya terkandung es, angin kencang, hujan lebat, dan petir,” jelas dia.

Kemudian, sambung Erma, pada malam hari masih bisa diketahui akan hujan atau tidak dengan melihat bulan. Jika masih bisa melihat cahaya bulan secara penuh, berarti awan yang ada hanya awan-awan tinggi. Sedangkan jika bulan tertutup oleh banyak awan sehingga tidak bisa terlihat, itu menandakan terdapat banyak awan-awan rendah yang berpotensi menimbulkan hujan.

Lebih lanjut Erma menerangkan, cuaca ekstrem adalah terjadinya suatu nilai unsur cuaca seperti suhu, angin, hujan, dan sebagainya, yang sangat tinggi atau sangat rendah, melebihi ambang batas tertentu. Skala cuaca ekstrem dikenali melalui sifat, yaitu tidak biasa atau tidak normal, dampak yaitu besar, luas atau parah.

“Frekuensi seperti sangat jarang terjadi, skala yang meliputi ruang meso hingga sinoptik atau waktu yang meliputi jam hingga mingguan, dan bentuk seperti bow echo, squall line, dan mesoscale convective complex,” jelas dia.

Beberapa kasus cuaca ekstrem, terang Erma, menunjukkan kombinasi atmosfer-laut merupakan satu kondisi yang bisa merusak dalam waktu yang singkat terhadap infrastruktur yang ada di sekitar pantai. “Kombinasi dari atmosfer dan laut yang saling berinteraksi ini salah satunya disebut storm surge,” sebut dia.

Erma juga menegaskan, perlu upaya yang harus dilakukan supaya tidak terjadi panas berlebihan dan bisa mengurangi cuaca ekstrem. Menurut dia, memperbaiki lingkungan harus dilakukan karena perubahan iklim tidak bisa dihentikan, namun bisa ditahan laju kenaikannya agar tidak terlalu tinggi

“Peredaman bisa dilakukan dengan cara melakukan adaptasi dan mitigasi,” kata Erma. 

Dirinya mengungkapkan, adaptasi sebagai kondisi untuk mindset kita bahwa saat ini kondisi sudah tidak baik-baik saja. Dan mitigasi berarti menjaga supaya tidak ada lagi alih fungsi lahan yang merusak.

“Kita mulai dari diri kita, dengan menanam pohon di sekitar rumah, kemudian tidak membakar sampah dan sering menggunakan sepeda bisa kita lakukan sehari-hari, sebagai bagian kecil langkah kita untuk menghadapi atau mengurangi dampak dari kondisi ekstrem yang terjadi di cuaca,” tutur dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement