Kamis 02 Nov 2023 15:39 WIB

Persaingan Bisnis jadi Penyebab Sawit Indonesia Distigma Negatif

Produksi minyak Indonesia jauh lebih besar dibanding eropa.

Perkebunan sawit distigma negatif karena perang bisnis. foto ilustrasi
Foto: republika/joko sadewo
Perkebunan sawit distigma negatif karena perang bisnis. foto ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar kelapa sawit dan penulis buku Sawit untuk Negeri, Petrus Gunarso, menilai munculnya stigma negatif terhadap kelapa sawit Indonesia, muncul karena persaingan dagang secara global.

Dalam siaran pers disebutkan, stigma yang digulirkan dari dalam dan luar negeri ini membuat kelapa sawit Indonesia dipojokkan. "Dari sisi perdagangan atau produktivitas lahan, pasti mereka (Eropa/negara Barat, red) sangat keberatan karena produktivitas sawit (minyak nabati) Indonesia sangat besar dibanding produktivitas mereka di Eropa," kata Petrus saat bincang Podcast Helmy Yahya.

Produktivitas kelapa sawit Indonesia meningkat pesat, menurutnya, mengambil porsi minyak nabati dari kedelai dan lainnya yang diproduksi oleh negara-negara Eropa.

Sebagai perbandingan, Petrus menyebut 10 hektar lahan kedelai itu menghasilkan 1 ton minyak nabati dalam setahun. Sedangkan kelapa sawit bisa mencapai 10 ton. Dengan kata lain tingkat produktivitasnya 1 banding 10.

"Artinya bisa dibayangkan kalau sekarang luasnya lahan tanaman kedelai 56 juta hektar di Amerika, dan di kita cuma 16 juta hektar. Sementara sumbangan untuk minyak nabati kita di atas 55 persen. Artinya minyak nabati diisi oleh sawit," jelas Petrus.

Petrus menduga munculnya berbagai macam isu negatif seperti merusak lingkungan, deforestasi, sampai mengganggu orang utan itu bermunculan karena persaingan bisnis global. "Kalau menjual (kampanye) lingkungan pasti mengambil binatang-binatang yang membuat orang kasian,” ungkapnya.

Padahal, menurut dia, sebenarnya  hal itu tidak benar. Sebab lahan sawit tidak banyak dari hutan alam primer yang orang utannya banyak. “Jumlahnya sangat kecil, sekitar 4 persen,” kata Petrus.

Di sisi lain, Petrus mengungkapkan manfaat adanya perkebunan kelapa sawit bagi Indonesia sangat besar, bukan hanya dari sisi perekonomian, juga sosial masyarakat yang sangat baik.

Menurut Petrus, hal ini terjadi karena satu-satunya komoditas yang pengelolaannya itu berimbang dan tidak berat sebelah antara perusahaan dan masyarakat adalah kelapa sawit. "Kalau sawit berimbang antara perusahaan dan masyarakat di kisaran 45 persen dan 55 persen," jelas Petrus.

Perimbangan ini penting karena berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. "Membantu rakyat yang tadinya kesulitan menjadi lebih makmur,” kata dia.

Namun karena alasan persaingan itulah, Petrus menyebut banyak kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia, baik disampaikan di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement