Kamis 02 Nov 2023 00:19 WIB

ICW Desak Polda Metro Jaya Naikkan Status Firli Jadi Tersangka

ICW mendesak Polda Metro Jaya menaikkan status Firli Bahuri menjadi tersangka.

Rep: Eva Rianti/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua KPK Firli Bahuri. ICW mendesak Polda Metro Jaya menaikkan status Firli Bahuri menjadi tersangka.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua KPK Firli Bahuri. ICW mendesak Polda Metro Jaya menaikkan status Firli Bahuri menjadi tersangka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mendesak Polda Metro Jaya untuk menaikkan status Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). 

"Mengingat bukti semakin menguat, ICW mendesak Polda Metro Jaya segera menaikkan status Firli dari saksi menjadi tersangka," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (1/11/2023). 

Baca Juga

Pihak Polda Metro Jaya, lanjut Kurnia, juga diharap bisa segera melakukan penahanan terhadap Firli untuk keperluan kelancaran proses hukum yang menjeratnya.

"Bahkan jika dibutuhkan, untuk mempercepat proses hukum demi kepastian hukum, Polda Metro Jaya dapat melakukan penangkapan dan penahanan kepada Firli," ujar dia.

Dalam kasus dugaan pemerasan terhadap SYL yang menyeret Firli, kepolisian telah melakukan penggeledehan di kediaman Firli. Diantaranya di rumah sewa Jalan Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Kurnia menganalisis, Firli bisa dikenai beberapa potensi tindak pidana korupsi mengenai penyewaan rumah di Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia menyebut, penyewaan rumah di Kertanegara seharga Rp650 juta setahun yang disinyalir dimanfaatkan Firli untuk beristirahat harus didalami oleh Polda Metro Jaya. 

"Ada tiga potensi tindak pidana korupsi yang dapat menjerat Firli berkenaan dengan hal itu," kata Kurnia. 

Potensi pertama yakni gratifikasi. Kurnia menjelaskan, berdasarkan Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penyelenggara negara dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari pihak manapun jika berkaitan dengan jabatannya. 

"Pertanyaan untuk menggali potensi pengenaan pasal gratifikasi terbilang sederhana: jika Firli bukan Ketua KPK, apakah ia akan disewakan rumah tersebut?" ujar dia. 

Adapun potensi kedua yakni penyuapan. Penyidik dalam hal ini, kata Kurnia, dapat menggali apakah ada kesepakatan antara pemberi sewa dengan Firli, misalnya berkenaan dengan suatu perkara di KPK. Jika terbukti ada, Firli bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikpor. 

"(Potensi) ketiga, pemerasan. Untuk pengenaan delik ini, penyidik harus mencari, apakah ada unsur paksaan dari Firli dalam proses pemberian rumah sewa di jalan Kertanegara? Jika pemerasan, Firli bisa disangka dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor," jelas dia. 

Kurnia mengatakan, dari tiga potensi tindak pidana korupsi itu yakni delik gratifikasi, suap, maupun pemerasan, memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan hukuman. Hukumannya berdasarkan undang-undang adalah penjara seumur hidup. 

"Jadi, seandainya Firli ditetapkan sebagai tersangka dan indikasi di atas terbukti, maka masyarakat akan pertama kali melihat dalam sejarah pemberantasan korupsi, Ketua KPK melakukan korupsi dan dijatuhi pidana penjara seumur hidup," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement