Selasa 31 Oct 2023 13:18 WIB

Daya Saing Indonesia Terancam Jika Insentif BHP Frekuensi 5G tak Diberikan Pemerintah

Kualitas internet Indonesia yang hanya bertengger di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN

Pelanggan 5G. Pemanfaatan 5G hanya terbatas pada sektor tertentu saja.
Foto: republika
Pelanggan 5G. Pemanfaatan 5G hanya terbatas pada sektor tertentu saja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri telekomunikasi dapat menjadi faktor enabler dalam menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang serta peningkatan jangkauan dan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Guru Besar Bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Poppy Sulistyaning Winanti menilai saat ini industri telekomunikasi memegang peran yang sangat strategis bagi perekonomian suatu negara.

Poppy menyebut, saat ini perkembangan ekonomi disumbang oleh aktivitas ekonomi digital. Tanpa dukungan industri telekomunikasi, niscaya aktivitas ekonomi digital tumbuh sehingga sumbangan industri telekomunikasi bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia sangat besar.

"Di kawasan ASEAN pertumbuhan ekonomi digital Indonesia merupakan tertinggi. Sehingga pemerintah perlu menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional,” ujar Poppy dalam keterangannya.

Namun, disayangkan saat ini pertumbuhan dan keberlangsungan industri ini menghadapi tantangan yang sangat besar. Salah satu kendalanya, tingginya beban regulatory cost. Jika pemerintah tak bisa membuat regulasi yang dapat memperkecil regulatory cost, Poppy khawatir peringkat Indonesia di Harvard Business Review akan melorot ke katagori ke titik nadir yaitu watch out. Saat ini posisi Indonesia di Harvard Business Review berada di posisi break out, memiliki potensi pertumbuhan di ekonomi digital yang sangat besar, tapi masih memiliki kendala.

“Indonesia masih belum mampu untuk naik kelas. Kendalanya disebabkan literasi digital, kesenjangan digital di masyarakat, infrastruktur telekomunikasi, kompleksitas regulasi yang ada di Indonesia dalam penggelaran infrastruktur telekomunikasi dan regulatory cost yang tinggi, sehingga ketika regulatory cost ini tinggi tentunya memengaruhi peringkat Indonesia," ujar Poppy.

Menurut dia, ketika pemerintah tak menyelesaikan PR tersebut, Indonesia bisa turun peringkat menjadi watch out. Katagori ini biasanya ada di negara-negara Afrika. "Apa Indonesia mau disamakan dengan negara di Afrika?” ujar Poppy.

Saat ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi tak puas dengan kualitas internet Indonesia yang hanya bertengger di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN. Bahkan peringkat kualitas dan kecepatan internet di Indonesia di global berada di peringkat 98 dari 143 negara di dunia.

Poppy menilai salah satu yang membuat kualitas internet di Indonesia rendah dikarenakan regulatory cost operator telekomunikasi yang sangat tinggi. Bahkan dengan regulatory cost yang tinggi Poppy melihat akan melemahkan daya saing industri telekomunikasi nasional dan daya saing perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data dari 4 operator besar (Tsel, Isat, XL, Smart) di Indonesia diperoleh gambaran tren kenaikan BHP frekuensi setiap tahunnya dari tahun 2013-2022 sebesar 12,10 persen terhadap gross revenue setelah dihitung secara proporsional. Sedangkan komposisi beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler cenderung meningkat setiap tahunnya dari sebesar 6,71% pada tahun 2013 menjadi sebesar 11,40% pada tahun 2022 atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 6,07%. Kenaikan ini disebabkan formula perhitungan BHP frekuensi yang dilakukan Kominfo selalu menggunakan acuan angka inflasi.

Berdasarkan benchmark dari Coleago Consulting, komposisi biaya BHP frekuensi terhadap revenue yang akan menjadikan industri tumbuh berkelanjutan adalah berada di bawah 5%. Sedangkan komposisi sekitar 5%-10% masih dapat mendorong keberlanjutan industri (industry may be sustainable). Namun, jika komposisi regulatory cost tersebut di atas 10% dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.

“Jika Indonesia tidak melakukan pembenahan fundamental di industri telekomunikasi, daya saing Indonesia dipastikan akan kalah dengan negara-negara di regional lainnya seperti Vietnam. Salah satu yang mempengaruhi minat investasi asing adalah kehandalan infrastruktur telekomunikasi,” kata Poppy.

Agar regulatory cost semakin rendah, Poppy menyarankan pemerintah dapat memberikan insentif seperti keringanan BHP frekuensi. Pemerintah juga bisa memberikan insentif berupa kemudahan perizinan lainnya seperti mendirikan tower, kemudahan penggelaran fiber optic dan berbagai kemudahan lainnya.

India jadi salah satu negara yang memberikan insentif bagi industri telekomunikasinya. Sebelumnya India juga menerapkan BHP frekuensi yang tinggi. Namun, setelah gagalnya lelang frekuensi di beberapa pita tahun 2015 dan 2016, pemerintahnya menetapkan BHP frekuensi sebesar 0% pada perusahaan yang mengembangkan jaringan 5G. Upaya perubahan ini kemudian berdampak pada meningkatnya kesehatan industri telekomunikasi dan score broadband yang jauh lebih baik secara global serta penetrasi 5G yang lebih cepat.

Menurut Poppy, pemerintah Indonesia bisa meniru negara lain yang sudah memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama kurun waktu tiga tahun untuk perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru seperti 5G. Sebab teknologi 5G selain harus membuat ekosistem, sektor yang bisa menerapkan teknologi telekomunikasi teranyar ini masih sangat terbatas.

“Berdasarkan kajian kita pemanfaatan 5G hanya terbatas pada sektor tertentu saja. Nantinya BHP frekuensi di tahun ke 4 dapat disesuaikan dengan utilisasi frekuensi 5G yang telah dipergunakan masyarakat," ujar Poppy.

Dia berpendapat, ekosistem 5G harus dibangun, sehingga dibutuhkan insentif BHP frekuensi bagi penerapan teknologi baru ini. "Diharapkan dengan insentif BHP frekuensi dari pemerintah, dapat meningkatkan kualitas internet di Indonesia dan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Poppy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement