Senin 09 Oct 2023 20:10 WIB

KPU Akui tak Bisa Sanksi Partai yang Abaikan Putusan MA Soal Kuota Caleg Perempuan 

KPU sudah meminta semua parpol peserta Pemilu 2024 mematuhi kuota caleg perempuan.

Rep: Febryan A/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU Hasyim Asyari berbincang dengan Anggota KPU Idham Holik sebelum mengikuti rapat konsultasi bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari berbincang dengan Anggota KPU Idham Holik sebelum mengikuti rapat konsultasi bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari mengklaim bahwa pihaknya tak bisa menjatuhkan sanksi kepada partai politik yang jumlah bakal caleg perempuannya tidak mencapai 30 persen sebagaimana putusan terbaru Mahkamah Agung (MA). Hasyim menjelaskan, dirinya lewat nota dinas telah meminta semua partai politik peserta Pemilu 2024 untuk mematuhi putusan MA.

 

Baca Juga

"Di Undang-Undang Pemilu tidak ada sanksinya. Kalau di undang-undang tidak ada sanksi, KPU kan tidak bisa memberikan sanksi," kata Hasyim kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/10/2023). 

Dengan tidak adanya ketentuan sanksi, kata Hasyim, partai politik yang bakal caleg perempuannya tak mencapai 30 persen di suatu daerah pemilihan (dapil) tetap boleh berlaga dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. KPU tidak bisa menyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) kepada partai politik yang mengabaikan putusan MA. 

Ketiadaan sanksi ini bisa membuat semua partai abaik terhadap putusan MA. Pasalnya, semua partai politik peserta Pemilu 2024 jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30 persen di sejumlah dapil. Berdasarkan data KPU yang diolah oleh mantan Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay, jumlah bakal caleg perempuan yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak mencapai 30 persen di 31 dapil.

PDIP tidak mencapai 30 persen di 25 dapil. Total dari 18 partai politik, ada 226 dapil yang caleg perempuannya tak mencapai 30 persen. Polemik soal kuota caleg perempuan ini bermula dari munculnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Dalam  Pasal 8 ayat 2 dinyatakan bahwa penghitungan kuota 30 persen caleg perempuan menggunakan pendekatan pembulatan ke bawah. 

Alhasil, partai politik mengajukan jumlah caleg perempuan menggunakan pendekatan pembulatan ke bawah. Belakangan, koalisi masyarakat sipil menggugat pasal tersebut ke Mahkamah Agung karena dinilai bertentangan dengan UU Pemilu. 

Sebagai contoh, partai politik mengusung delapan caleg di suatu dapil. Apabila dihitung murni, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4 orang. Lantaran angka di belakang koma tak mencapai 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Dengan demikian, partai politik cukup mengusung dua caleg perempuan saja dari total delapan caleg. Padahal, dua dari delapan caleg setara 25 persen, bukan 30 persen. 

MA lewat putusan Nomor 28 P/HUM/2023 mengabulkan gugatan koalisi masyarakat sipil tersebut. MA memerintahkan KPU mengubah bunyi pasal tersebut sehingga cara penghitungan kuota caleg perempuan menggunakan pendekatan pembulatan ke atas. 

photo
Mengapa Caleg Harus Diawasi? - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement