REPUBLIKA.CO.ID, SORONG -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengadakan Survei Penilaian Integritas (SPI) untuk mengukur risiko korupsi di instansi publik. Survei ini menyasar pegawai instansi publik, masyarakat pengguna layanan publik dan pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lain seperti auditor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan media massa.
“Dengan SPI, kita bisa menilai apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kementerian maupun Lembaga terkait dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi,” jelas Ketua Satuan Tugas SPI Tri Gamarefa, pada kegiatan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (FIRTUAL) dengan tema 'Mengawal SPI Demi Negeri' di Sorong, Rabu (4/10/2023).
Tri Gamarefa menjelaskan bahwa SPI menjadi survei yang dilakukan untuk memetakan upaya pencegahan korupsi dan bagaimana kemajuan dari upaya-upaya korupsi tersebut.
“Dari survei ini akan dikeluarkan indeks, dan dari indeks tersebut kami akan memberikan laporan yang di dalamnya ada rekomendasi-rekomendasi dari kumpulan hasil survei tersebut,” tambah Tri Gamarefa.
SPI nantinya akan disebarkan ke tiga jenis responden, yakni responden internal, responden eksternal, dan responden eksper/ahli. Dari hasil survei dapat digambarkan kondisi pelayanan dan tata kelola pemerintahan di suatu lembaga.
“Tujuan dari survei ini adalah untuk memetakan risiko dan praktik korupsi di seluruh lembaga publik meliputi Kementerian, Lembaga dan Daerah di Indonesia untuk menjadi cerminan kondisi integritas di Indonesia,” jelas Ketua Tim SPI KPK Wahyu Dewantara Susilo.
Wahyu menjelaskan bahwa penilaian tentang risiko korupsi tersebut didapat dari berbagai stakeholder dari masing-masing lembaga, sehingga ada partisipasi langsung.
“KPK bukan yang menilai di sini, kami memfasilitasi penilaian. Yang menilai sebenarnya adalah pengguna layanan, pegawai (ASN dan Non ASN), eksper/ahli, dan pemangku kepentingan. Kami undang semua untuk mengajak partisipasi langsung dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” tambah Wahyu.
Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) Astrid Ramadiah Wijaya menyampaikan bahwa sosialisasi tentang SPI ini perlu dipromosikan guna memberikan kesadaran tentang korupsi dan membentuk budaya antikorupsi.
“SPI penting untuk memperoleh gambaran layanan publik dan menciptakan kesadaran akan adanya risiko korupsi di pemerintahan, kementerian, atau lembaga. Hasil SPI yang dipublikasikan ke masyarakat juga berfungsi untuk perbaikan sistem pada organisasi agar tidak ada lagi celah korupsi,” ujar Astrid.
Kehadiran SPI diharapkan dapat semakin menumbuhkan kesadaran tentang risiko korupsi. Selain untuk memetakan risiko korupsi, SPI juga digunakan untuk menilai pengelolaan anggaran dan mengukur efektivitas pencegahan korupsi yang dilakukan masing-masing instansi.
Semakin rendah nilai SPI, maka menunjukkan semakin tinggi risiko korupsinya. Hasil SPI yang dipublikasikan ke masyarakat juga akan mendesak dilakukannya perbaikan sistem pada organisasi agar tidak ada lagi celah korupsi.