Selasa 03 Oct 2023 03:47 WIB

Kisah Komunis di Ranah Minangkabau

Abdullah Kamil, Komunis yang Disadarkan Menantu Haji Rasul

Suasana ranah Minangkabau pada tahun 1930-an. (iklustrasi)
Foto: istimewa
Suasana ranah Minangkabau pada tahun 1930-an. (iklustrasi)

Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, periset, pemerhati, dan pengajar sejarah 

Nama Abdullah Kamil, memang tidak familiar dalam lembaran sejarah Minangkabau. Namun, ia dikenang menjadi bagian dari historiografi–terutama yang ditulis oleh sejarawan luar. Sebut saja Schrieke (1929), Harry J. Benda (1960), Akira Oki (1985), dan Joel S.Khan .

Baca Juga

Nama lainnya yang kerap mengabadikan namanya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Hamka), dalam dua karyanya, Muhammadiyah di Minangkabau, Tafsir Al-Azhar, dan Kenang-kenangan Hidup. Kisah laki-laki kelahiran 1907 di Padang Panjang itu, memang menarik untuk disimak.

Padang Panjang dalam tulisan Audrey Kahin (1996), selalu ditulis sebagai pintu penghubung antara Pesisir Pantai Barat Sumatra, dan pedalaman Minangkabau. Sejak kalahnya Padri pada 1821, basis pertahanan mereka beralih tangan ke Kumpeni.

Wajah kota kecil–yang menjadi bagian dari Afdeling Batipuh X Koto itu pun berubah. Akses jalan darat diperbaiki, dan satuan militer diperkuat. Wajah kota pun berubah drastis. Yang awalnya kampung menjadi kota garnizun.

Sejak hadirnya moda transportasi massal kereta api di akhir abad ke-19, Padang Panjang sudah menjelma sebagai pintu masuknya distribusi barang dan jasa, ideologi, dan menguatnya peran Islam modernis.

Sekolah-sekolah bergaya Barat, sudah ada sejak akhir abad ke-19. Mulai dari Volkschool, Vervolgschool, Schkakel School, Hollandsch Indlandsche School (HIS), hingga sekolah lanjutan untuk guru, Normaal School.

Tokoh-tokoh Islam modernis melihat, ada celah yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda. Seluruh sekolah yang didirikan, tidak berbasis agama. Sedangkan orang Minang cendrung kuat dengan persoalan agama.

Di awal abad ke-20 di Padang Panjang telah berdiri Sumatra Thawalib, Diniyah School, dan Muhammadiyah turut merintis dan memusatkannya di bekas Hotel Merapi. Kemudian beralih nama menjadi Kauman Muhammadiyah Padang Panjang (Sufyan, 2021).

Abdullah Kamil dibesarkan dalam masa keemasan Islam modernis. Pendidikan terakhirnya adalah Sumatra Thawalib (Hamka, 1974). Ia menikmati masa pendidikan di Thawalib Padang Panjang, dan dididik langsung oleh Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Zainuddin Labay el-Yunussy, dan guru bantu agama Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.

Nama terakhir, yang mengubah wajah Thawalib Padang Panjang. Yang awalnya adalah institusi pendidikan berbasis Islam modernis, kemudian bersentuhan dengan pergerakan Kuminih.

Pada Oktober 1923, ketika Haji Datuk Batuah memformulasikan Kuminih–yang merupakan sintesa dari Islam, Marxis, dan adat Minangkabau, Kamil telah berusia 15 tahun. Ia dikader dalam Internasional Debating Club (IDC), mengikuti debat di Bufet Merah, membaca artikel di Djago! Djago!, Pemandangan Islam, Doenia Achirat, dan Njala – seperti yang dialami oleh murid-murid dan guru Thawalib lainnya.

Meskipun telah menjadi bagian dari pergerakan Sarekat Rakyat, Hamka menyebut sahabatnya ini, pentolan Kuminih yang taat beribadah. Kamil ditengarai ikut dalam peristiwa di awal tahun 1927, di kalangan akademisi menyebutnya Pemberontakan Silungkang. PKI pun kalah dalam peristiwa dramatis itu, karena belum kuat massa actie-nya.

Pasca peristiwa Silungkang, ia pun dicari-cari oleh intel Politieke Inlichtingen Dienst  (PID). Sejak kekalahan Kuminih, ia menjadi buruan nomor satu, sejak Januari hingga bulan Mei 1927. Entah bagaimana caranya, ia kerap lolos dari penangkapan intel Belanda.

Setidaknya ada lima orang yang disorot oleh PID Belanda, terkait dengan peristiwa Silungkang dan keterlibatan mereka dalam Sjech Bond Indonesia (SBI) Persjarikatan Islam Indonesia (SBI/PII).

Lanjutkan membaca pada halaman berikutnya....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement