Senin 25 Sep 2023 16:02 WIB

Peringatan Hari Tani Ke-63, Petani Sawit Terus Perjuangkan Keadilan

Para petani sawit dan masyarakat adat di berbagai wilayah masih menjadi korban.

Petani merawat tanaman sawit di lahan perkebunan karet rakyat di Tempino, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, Jumat (14/10/2022).
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Petani merawat tanaman sawit di lahan perkebunan karet rakyat di Tempino, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, Jumat (14/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memperingati Hari Tani Nasional ke-63 pada 24 September 2023, petani sawit di Indonesia masih diselimuti konflik agraria. Alhasil, peringatan Hari Tani menjadi momentum untuk merefleksikan kembali lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sebagai landasan mewujudkan pengaturan tentang bumi dan kekayaan alam merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pun terus mengawal agar amanat UUPA untuk melaksanakan reforma agraria, terutama di perkebunan kelapa sawit benar-benar terwujud. Sebagai salah satu organisasi petani yang memperjuangkan hak-hak petani, SPKS menilai, pelaksanaan pembangunan kebun seluas 20 persen untuk masyarakat di perdesaan masih terus dipraktikkan di Indonesia.

"Seharusnya diwujudkan oleh negara sebagai salah satu bentuk pelaksanaan reforma agraria, karena skema 20 persen dalam sistem perkebunan telah menciptakan ketimpangan, konflik, serta kemiskinan bagi masyarakat perdesaan," kata Sekjen SPKS Sabarudin dalam siaran pers di Jakarta, Senin (25/9/2023).

Pihaknya menyaksikan letusan konflik 20 persen terjadi di perkebunan sawit. Menurut dia, para petani sawit dan masyarakat adat di berbagai wilayah menjadi korban akibat mempertahankan tanahnya dan memperjuangkan keadilan dari sistem perkebunan sawit.

"Konflik akibat ketidakpatuhan perusahaan membangun kebun 20 persen, koperasi plasma dililit hutang yang besar, pendapatan petani yang dikorup oleh skema kemitraan satu atap, semuanya ini menunjukkan bahwa petani masih diperlakukan sebagai objek oleh perusahan untuk menjustifikasi ekspansi dan penguasaan lahan," kata Sabarudin.

SPKS pun menyaksikan aksi kekerasan di Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Sumatra Barat, serta beberapa wilayah lainnya yang tidak terekspos pemberitaan. Lambannya penanganan, lemahnya penegakan hukum, serta ketidakberpihakan pemerintah kepada petani sawit dan masyarakat adat, menurut Sabarudin, merupakan faktor utama konflik yang terus terjadi.

"Pemerintah tidak memiliki konsep keadilan dalam sistem perkebunan sawit," ucapnya. SPKS juga menyoroti, langkah pemerintah merubah ketentuan UU Perkebunan dalam UU Cipta Kerja yang diikuti dengan regulasi yang terbit oleh institusi negara, justru menghambat hak-hak petani untuk menuntut realisasi pembangunan kebun masyarakat 20 persen.

Termasuk upaya penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang cendrung diskriminasi dan sulit dioperasionalkan. "Hari Tani Nasional ke-63 ini, SPKS mendesak kepada pemerintah untuk menempatkan petani dan koperasinya sebagai pelaku utama untuk menggerakkan sistem perkebunan sawit nasional," kata Sabarudin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement