REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia telah mengadopsi norma bisnis dan HAM, yang dikeluarkan oleh United Nations Working Group on Business and Human Rights (UNWG) dalam bentuk United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) sejak 2011. Ini adalah suatu norma yang memastikan tanggung jawab negara dan sektor korporasi dalam menjalankan bisnis yang bertanggung jawab.
Dengan menguji 10 perusahaan yang listing di lantai bursa, Setar Institute dan SIGI menyimpulkan bahwa, kinerja sektor korporasi dalam pemajuan bisnis dan HAM berada pada tingkat basic to improving, yakni masih pemula menuju langkah pemajuan.
Penelitian Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia, menggunakan kerangka pengukuran pada enam level kinerja yakni negligible, basic, improving, established, mature, dan leading.
Pada sektor korporasi penelitian ini mengadopsi tiga indikator yaitu, (komitmen kebijakan HAM (human rights policy commitment), implementasi uji tuntas HAM (human rights due diligence), dan mekanisme penanganan keluhan (grievance mechanism) yang dijalankan oleh perusahaan.
"Pada sektor korporasi penelitian ini mencatat 2 perusahaan, SMART Tbk dan Unilever Indonesia, berada pada tingkat mature/matang dan established/ mapan pada semua indikator," kata Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute Nabhan Aiqani, seperti dilansir pada Jumat (15/9/2023).
Sementara terdapat empat perusahaan yang berada pada tingkat basic to improving dan empat perusahaan lainnya berada pada tingkat basic. Bayan Resources, salah satu perusahaan tambang terbesar, bahkan membukukan capaian pada tingkat negligible/abai.
Penelitian ini juga merekomendasikan agenda bagi sektor bisnis atau korporasi, antara lain, kata dia, mendorong BUMN sebagai pionir untuk pemajuan BHAM pada sektor perusahaan, dalam kerangka state business nexus UNGPs. Kedua, mendorong subsidiaries untuk mengasistensi smallholders dalam peningkatan kapasitas dan daya saing komunitas lokal dan masyarakat adat.
"Ketiga mendorong dunia usaha untuk memenuhi standar-standar Bisnis dan HAM internasional untuk peningkatan daya saing dan keberterimaan pada mekanisme pasar internasional. Keempat mendorong asosiasi usaha secara sektoral untuk mendesain dan mengawal secara mandiri insiatif dan standar sesuai dengan prinsip BHAM," ujar dia.
Kemudian menginisiasi praktik penilaian terhadap risiko dan mitigasi dampak HAM potensial dan aktual, untuk mengurangi dan memulihkan dampak HAM merugikan yang ditimbulkan perusahaan. Adapun keenam mendorong perusahaan untuk menjalankan stakeholders engagement yang efektif untuk menilai kebutuhan, mitigasi risiko HAM, dan penanganan dampak HAM yang merugikan komunitas terdampak (affected community).
"Lalu ketujuh menginisiasi pembentukan mekanisme pengaturan sendiri dalam pembentukan Operational Level Grievane Mechanism (OGMs) untuk pemulihan yang efektif sesuai dengan standar UNGPs (effective remedies)," ujar dia.