Kamis 07 Sep 2023 20:40 WIB

PDIP Dinilai tak Perlu Siapkan Strategi Khusus Raup Suara NU, Ini Analisis Peneliti BRIN

Menurut Siti Zuhro, PDIP tak perlu berbuat banyak dalam meraup suara warga NU.

Ribuan simpatisan Partai PDI Perjuangan menghadiri konsolidasi pemenangan partai PDIP dan Ganjar di Stadion Jati Diri, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/8/2023). Konsolidasi bertema Nyalakan Api Semangat Satu Barisan Satu Komando yang dihadiri sejumlah partai pengusung, ribuan kader dan simpatisan Partai PDI Perjuangan se-Jawa Tengah tersebut untuk mendukung serta mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Ribuan simpatisan Partai PDI Perjuangan menghadiri konsolidasi pemenangan partai PDIP dan Ganjar di Stadion Jati Diri, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/8/2023). Konsolidasi bertema Nyalakan Api Semangat Satu Barisan Satu Komando yang dihadiri sejumlah partai pengusung, ribuan kader dan simpatisan Partai PDI Perjuangan se-Jawa Tengah tersebut untuk mendukung serta mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Nawir Arsyad Akbar, Bowo Pribadi

PDI Perjuangan (PDIP) dinilai tak perlu menyiapkan strategi khusus untuk menarik suara warga Nahdatul Ulama (NU) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Menurut peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, PDIP sebetulnya memiliki lumbung suara dari warga NU karena NU dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Presiden Pertama RI Soekarno pada 1927 memiliki keterkaitan satu sama lain.

Baca Juga

"Jangan lupa sebetulnya mengapa NU dan PNI dulu kala diteruskan dengan PDIP, PKB dan PPP dapat bekerja sama? Mereka itu punya ceruk dukungan yang berimpit, jadi warga NU itu tidak asing dengan PNI," ujar Siti di Jakarta, Kamis (7/9/2023).

Adapun, sebelum menjadi partai berlambang banteng moncong putih seperti saat ini, PDIP berawal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dibentuk pada 10 Januari 1973. Partai ini dibentuk dari partai gabungan PNI dengan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.

Terbukti, dalam survei Litbang Kompas pada Mei 2023 yang menunjukkan PDIP merupakan partai yang paling banyak dipilih oleh warga Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan survei ini, elektabilitas PDIP di kalangan NU juga meningkat dari 19,9 persen pada Januari 2023 menjadi 22,6 persen pada Mei 2023.

Untuk itu, sambung Siti, PDIP tak perlu berbuat banyak dalam meraup suara warga NU. Kendati demikian, ia tak mungkiri PDIP pasif dalam melakukan kerja sama politik dengan partai lain.

Hal ini terlihat dari PKB yang tak bersama PDIP dalam Pilpres 2024. Menurutnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri merasa dapat mengajukan bakal calon presiden (capres) pilihannya tanpa perlu melakukan kerja sama politik.

"Itu kan partai mikir juga terus apa dapatnya kalau tidak ada koalisi gitu," katanya.

Keyakinan inilah yang membuat Siti menilai PDIP tak perlu berbuat banyak sebagai partai wong cilik, karena kesolidan itu yang akan mengantarkan mereka pada kemenangan dalam Pilpres 2024. "Tidak perlu (strategi khusus), makanya saya bilang ongkang-ongkang kaki (suara) wong cilik (sekitar) enam hingga tujuh persen dapat," jelas Siti.

Opini Siti Zuhro berbeda dengan pendapat pendiri Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Saiful Mujani yang pernah menjelaskan adanya sejumlah faktor dalam penentuan koalisi untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Salah satu faktornya adalah organisasi masyarakat NU.

Faktor NU, jelas Saiful, sudah menjadi salah satu pertimbangan koalisi bagi PDIP. Hal itu terlihat dari kontestasi nasional sebelumnya, ketika partai berlambang kepala banteng itu selalu menggandeng tokoh dari NU.

"Dalam sejarahnya Ibu Mega cenderung akan berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama. Pada 2004 dulu, Ibu Mega berkoalisi dengan Hasyim Muzadi menjadi calon wakilnya," ujar Saiful.

Hal tersebut kembali terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, ketika PDIP mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Dalam dua kontestasi tersebut, PDIP kembali memasangkan capresnya dengan tokoh NU, yakni Muhammad Jusuf Kalla dan Ma'ruf Amin.

"Di 2014 Pak Jusuf Kalla juga tokoh NU, kemudian di 2019 Pak Jokowi dengan Pak Ma'ruf Amin tokoh NU. Jadi unsur ini (NU) begitu penting akan mempengaruhi pola-pola koalisi," ujar Saiful.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement