Selasa 05 Sep 2023 18:59 WIB

Wacana BNPT Kontrol Rumah Ibadah Dinilai Lebih Banyak Mudharat

Kontrol terhadap rumah ibadah akan melanggar ketentuan perundangan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
Kepala BNPT Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Kepala BNPT Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wacana Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel yang menginginkan pemerintah mengontrol semua tempat ibadah dinilai bukan langkah tepat dan terukur. Setara Institute menilai, meski lembaga pendidikan dan tempat ibadah menjadi target kelompok intoleran dan radikal, tetapi langkah pemerintah ingin mengontrol ini justru lebih banyak mudharat.

"Kontrol atas seluruh tempat ibadah beserta orang-orang yang menyampaikan syiar dan muatan syiar keagamaan di dalamnya, langkah yang lebih banyak bahaya daripada manfaatnya," ujar Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dalam siaran persnya, Selasa (5/7/2023).

Baca Juga

Halili mengatakan, Setara setuju dengan pemerintah untuk mencegah penyebaran paham intoleran dan radikal. Namun demikian, pemerintah perlu mengambil langkah dan kebijakan yang tepat guna.

Sementara, kontrol terhadap seluruh tempat ibadah berpotensi melanggar ketentuan perundangan karena menganggu kebebasan beragama/berkeyakinan seseorang.

"Kontrol terhadap seluruh tempat ibadah akan merupakan langkah eksesif negara yang akan melahirkan restriksi atau pembatasan berlebihan terhadap kebebasan warga negara untuk memeluk agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing," ujarnya.

Menurutnya, alih-alih mengontrol rumah ibadah, akan lebih efektif jika pemerintah melibatkan para stakeholders, terutama kelompok dan organisasi keagamaan moderat dalam mencegah tempat ibadah dijadikan target jaringan kelompok konservatif dan radikal. Diantaranya melalui kerjasama dengan ormas keagamaan moderat, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI dan ormas keagamaan moderat lainnya.

Selain itu, Pemerintah juga dapat melakukan asesemen awal agar radikalisasi yang berlangsung di beberapa tempat ibadah Kementerian/Lembaga dan Badan Usaha Milik Negara bisa dimitigasi dan kemudian ditangani secara presisi melalui kolaborasi dengan ormas kegaman moderat tersebut.

"Di samping itu, pemerintah secara kolaboratif dengan ormas keagamaan moderat juga dapat merekomendasikan penceramah dan topik kebangsaan yang menarik untuk didialogkan di ruang keagamaan, bukan menetapkan, apalagi mengontrol," ujarnya.

Tak hanya itu, Setara Institute juga mendorong pemerintah lebih memobilisasi sumber daya dibandingkan mengontrol tempat ibadah.  Dia mengingatkan, jangan sampai langkah yang diambil oleh pemerintah justru kontraproduktif bagi jaminan hak konstitusional warga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar. Dia juga mendorong pemerintah menutup ruang bagi intoleransi dan diskriminasi yang justru memberikan energi bagi konsolidasi kelompok-kelompok radikal. 

"Eksistensi Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat) di bawah Kejaksaan seringkali menyediakan amunisi bagi konsolidasi kelompok-kelompok konservatif dan radikal terhadap kelompok minoritas yang mereka kategorikan sesat, melalui tempat-tempat ibadah," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement