REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengakui masih minimnya infrastruktur Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Indonesia. Hal itu menurut KemenPPPA menjadi salah satu faktor penghambat pemulihan korban kekerasan seksual.
Berdasarkan data yang dicatat KemenPPPA saat ini baru ada 254 UPTD PPA di kabupaten/kota di Indonesia. Angka ketersediaan UPTD PPA itu baru mencapai 50 persen dari yang seharusnya.
"Sementara yang belum itu, setengahnya, yaitu 260 lagi. Jawa Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku menjadi daerah yang masih minim UPTD PPA nya. Rata-rata masih di bawah 20 persen," kata Staf Ahli KemenPPPA Bidang Pembangunan Keluarga, Indra Gunawan dalam Media Talk di Kantor KemenPPPA, Jumat (25/8/2023).
Minimnya infrastruktur itu tentu berpengaruh pada proses pendampingan dan pemulihan korban pasca kekerasan yang dialami. Indra meminta agar pemerintah daerah segera merealisasikan amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk segera membentuk UPTD di setiap kabupaten.
"Kita selalu mendorong agar dibentuk UPTD itu. Supaya ada penanganan kasus yang lebih optimal. Kita berharap di semua kabupaten itu ada. Tetapi kenyataannya memang dari ratusan kabupaten yang ada, itu belum semua. Ini sebenarnya kewenangan Kemendagri ya. Tetapi kami juga cukup aktif melakukan evaluasi daerah yang belum punya UPTD. Mereka menyuarakan kembali, mendorong kembali agar daerah memperhatikan UPTD ini," ujar Indra.
Selain minimnya ketersediaan UPTD di daerah, belum adanya aturan turunan dari UU TPKS juga dinilai menjadi penghambat dalam proses pendampingan dan pemulihan korban kekerasan. Indra turut mengakui aturan turunan sangat dibutuhkan korban kekerasan terutama terkait hak pemulihan dan hak restitusi.
Oleh karena itu, Indra mengatakan pihaknya akan segera merampungkan proses harmonisasi aturan turunan tersebut. "Aturan turunan ini masih di tahap harmonisasi yang keempat, harmonisasi tahap akhir. Sekarang itu posisinya ada di Kemenkumham, mudah-mudahan akhir bulan ini atau awal September sudah diselesaikan. Nanti akan ada rapat antar kementerian lagi setelah selesai dari Kemenkumham," ujar Indra.
Sementara itu, psikolog dari Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Ratri Kartikaningtyas mengatakan sambil menunggu infrastruktur dari pemerintah terkait pemulihan korban kekerasan seksual merata, dia menyarankan agar keluarga mengambil peran aktif untuk menjadi support system pemulihan korban.
Ratri menilai keluarga menjadi satu-satunya tempat terakhir bagaimana korban bisa sepenuhnya pulih. Dia menyebut tidak bisa bergantung sepenuhnya pada infrastruktur dari pemerintah. Sebab proses pemulihan yang mungkin memakan waktu seumur hidup itu butuh dukungan juga dari keluarga terdekat korban.
“Meski kita tahu angka kekerasan seksual di lingkungan keluarga itu tinggi, tetapi kita harus menyadari bahwa tempat terakhir buat kita berlindung itu ya keluarga juga. Maka dari itu penting sekali keluarga juga ikut mengedukasi diri mereka, orangtua mengedukasi diri terkait bagaimana menangani kekerasan dan mencegah hal itu terjadi,” ujar Ratri.
Dia juga menyinggung lingkungan sosial di sekitar keluarga juga sangat berperan dalam bagaimana membentuk ekosistem yang lebih ramah terhadap kelompok rentan yang mengalami kekerasan.
Ratri menyebut ketika ada kasus kekerasan di suatu lingkungan, secara otomatis yang mengalami trauma itu bukan hanya korban, tetapi juga masyarakat di lingkungan sekitar turut mengalami trauma itu. “Ada secondary trauma di masyarakat. Itu nyata ada dan terjadi. Kita selama ini fokus pada trauma korban, tetapi sebenarnya trauma itu juga menular ke masyarakat di lingkungan sekitar. Maka dari itu kita perlu mengoreksi kembali reaksi kita terhadap peristiwa kekerasan, terutama kekerasan seksual,” ujar Ratri.
“Orang tua, masyarakat, harus bisa bereaksi wajar dan tidak impulsif. Bangun komunikasi dengan anak, cari tahu pandangan versi anak mengenai kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Bukan malah membatasi dan menjauhkan anak dari pengetahuan itu. Ajak dialog. Apa pendapatmu soal kasus A, baiknya menurut anak seperti apa? Bagaimana cara mencegahnya supaya tidak terjadi kepada kita dan kita tidak melakukan itu? Reaksi seperti itu jauh lebih penting dari sekadar melarang dan membatasi anak pada informasi tentang kekerasan,” ujar Ratri.