REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Pertahanan (Unhan) RI Hasto Kristiyanto mengatakan, dengan riset di Arsip Nasional banyak informasi penting ditemukan tentang geopolitik Presiden Pertama RI Sukarno alias Bung Karno yang membicarakan tentang ilmu kepemimpinan Indonesia dan dunia.
Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara kunci dalam acara Seminar Nasional “Marwah Geopolitik dan Geostrategi dalam Arsip” yang digelar Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Ruang Noerhadi Magetsari ANRI, Jakarta, Jumat (25/8/2023).
Diapun menyebut dengan melihat dokumen di Arsip Nasional bisa memberi inspirasi akan kepemimpinan Indonesia untuk menghadapi masa depan. "Dokumen-dokumen dan arsip yang ada di sini, diskursus tentang geopolitik dan kepemimpinan Indonesia bagi dunia itu betul-betul mendorong seluruh daya gerak anak bangsa kita untuk bertindak ke luar, bukan ke dalam sesama anak bangsa sendiri. Sehingga kepemimpinannya sangat jelas dari arsip yang ditemukan di sini," kata Hasto dalam keterangan persnya.
Hasto menceritakan saat menyusun disertasinya, dia banyak menemukan contoh arsip pada masa lalu bagaimana Soekarno dalam membangun suatu the power of Indonesian diplomacy. Di mana Indonesia betul-betul memiliki suatu wawasan geopolitik yang luar biasa. Contoh temuan-temuan arsip yang sangat penting, penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika termasuk Indonesia dalam kepungan pangkalan militer negara-negara barat.
"Ketika memulai penelitian, saya diawali satu pertanyaan sederhana, mengapa pada 1965 Sukarno melalui Konferensi Islam Asia Afrika disebut sebagai pendekar dan pembebas bangsa-bangsa Islam? Ini ada dokumen yang kami temukan, dan dokumen ini digelapkan dari sejarah bahwa Sukarno itu pemimpin, pendekar dan pembebas bangsa-bangsa Islam," kata Hasto.
Geopolitik Sukarno ini merupakan ilmu kepemimpinan Indonesia bagi dunia dengan menggunakan 7 instrument of national power dalam memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia berdasarkan konstelasi geografia. Geopolitik Sukarno memberikan ilmu kepemimpinan dengan menggunakan the power of idea, the power of imagination, yang kemudian digalinya.
“Dari arsip ini saya menemukan bagaimana tradisi intelektual dari Sukarno yang minimal sejak muda sudah berimajinasi tentang Indonesia Raya kita,” ujar Hasto.
Dia menuturkan, pada tahun 1930, memperlihatkan bagaimana Soekarno berimajinasi tentang Indonesia, yang bukan hanya dari Sabang sampai Merauke, tapi juga sampai Filipina. “Itu gambaran cara pandang Soekarno tentang Indonesia ketika dia berusia 29 tahun berimajinasi bagaimana Indonesia itu,” kata Hasto.
Sukarno, dia melanjutkan, sejak awal memperlihatkan bagaimana cara berpikir anak bangsa bukan hanya memikirkan Jawa atau Sumatra. Tapi sudah memikirkan masa depan Indonesia untuk dunia.
“Jadi, tradisi intelektual Sukarno ini sangat penting. Bagaimana sejarah nusantara dan dunia di-blended dalam dialektika alam pikir,” ujar Hasto.
Karena itu, dalam geopolitik Sukarno kita harus memiliki cara pandang yang mengintegrasikan national view dengan social view.
“Inilah suatu tradisi intelektual yang memunculkan suatu ide, imajinasi. The power of intelectual science. Mampu menggambarkan tentang bagaimana kita membentuk jati diri kita sebagai bangsa,” pungkasnya.