REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi menyampaikan akan terus mengusut kasus peredaran senjata api (senpi) ilegal yang melibatkan tiga oknum anggota Polri. Pihak kepolisian membagi kasus peredaran senpi ilegal tersebut menjadi empat klaster.
"Yaitu jaringan teror, penjual senjata api, pabrik modifikasi senjata, dan penerima senjata api," ujar Hengki dalam keterangannya, saat konferensi pers Jumat (18/8) kemarin.
Namun terkait dengan jaringan teror, kata Hengki, ditangani oleh penyidikan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88. Klaster kedua penjual senjata api, terdiri atas senjata api modifikasi maupun pabrikan. Dalam klaster ini pihak kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap penyuplai senjata kepada terduga teroris berinisial DE.
"Ini ada senjata FNC, G2 Combat, itu pabrikan, ditemukan oleh Densus. Ini udah kita tangkap juga penyuplainya,” kata Hengki.
Hengki menambahkan, senjata api modifikator saat ini menjadi fenomena baru, yaitu mengubah senjata jenis airgun menjadi senjata api yang mematikan. Dalam perkara ini, senjata api modifikator tersebut disuplai oleh pabrik senjata modifikator di Semarang yang dibongkar oleh Polda Metro Jaya. Kemudian hasil dari modifikasi tersebut dijual melalui e-commerce atau penjualan online.
“Banyak sekarang beredar senjata air gun. Air gun itu dia pelurunya dari gotri besi pakai gas CO2, ternyata itu bisa dimodifikasi, di-upgrade menjadi senjata api. Ini yang sangat berbahaya yang sekarang banyak beredar di masyarakat,” ucap Hengki.
Sementara klaster terakhir yakni penerima senjata api, termasuk salah satunya tersangka DE, karyawan PT KAI yang ditangkap Densus 88 di Bekasi. Namun demikian, Hengki mengeklaim, jika tiga oknum Polri yang ditangkap terkait peredaran senpi ilegal tidak ada kaitannya dengan kasus terduga teroris DE.
“Ini yang kami baru ungkap kemarin di Semarang. Ini adalah penyuplai termasuk ke teroris ini, tetapi ingat mereka tidak saling bertemu, hanya via online dengan nama akun hang berubah-ubah,” jelas Hengki.