Jumat 18 Aug 2023 09:24 WIB

Kontradiksi Merdeka Belajar Melawan Kemerdekaan: Kelanjutan Liberalisme Kolonial?

Pendidikan hanya jadi menjaga strata dan kelas sosial tertentu yang diwariskan

Para siswa sekolah belajar  berbasis daring dalam bentuk aplikasi . (ilustrasi)
Foto:

Moral Republik

Kesetaraan, keadilan sosial, dan keberagaman adalah nilai-nilai dasar republik ini sejak awal dipikirkan dan diproklamirkan oleh pendiri bangsa, Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Setelah 78 tahun berlalu, nilai-nilai republik itu telah lama hilang dari kebudayaan kita. 

Nilai-nilai republik demikian tidak mudah diinstal lagi ke dalam budaya kerja lembaga-lembaga negara. Kepolisian, kejaksaan, militer, partai politik, dan lembaga-lembaga bisnis bekerja dengan model penalaran yang sama. Adalah penalaran kapitalistik yang beroperasi di bawah ambisi akumulasi kekayaan individu gila-gilaan. Akumulasi tanpa distribusi yang berimbang.

Ibarat tubuh, republik ini telah kehilangan jiwa dan sifat-sifat aslinya. Punya tubuh baru tetapi dipaksa kembali pada sistem berpikir dan berperilaku dari warisan kolonial dalam tatanan hukum, tatanan ekonomi, dan tatanan pendidikan. 

Saat ini kita dihadapkan suatu dilema pelik. Satu sisi kita ingin seyakin Socrates ketika ia berkata kepada Adeimentus, “teman ku yang baik, satu hal yang cenderung aku sebut bukanlah besar, melainkan cukup untuk tujuan kita, adalah pendidikan dan pengasuhan. Jika warga negara kita dididik dengan baik, menjadi orang bijak dan berpikir sehat, mereka dengan mudah melihat jalan membangkitkan kembali nilai-nilai moral republik”.

Sisi lain, kebijakan Merdeka Belajar yang dipimpin Mentri Nadiem menyongsong agenda utama liberalisme pendidikan. Merdeka Belajar yang melawan sipirit utama kemerdekaan dan menenggelamkan nilai-nilai republik ke dasar kubangan ketimpangan dan ketidakadilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement