Jumat 18 Aug 2023 09:24 WIB

Kontradiksi Merdeka Belajar Melawan Kemerdekaan: Kelanjutan Liberalisme Kolonial?

Pendidikan hanya jadi menjaga strata dan kelas sosial tertentu yang diwariskan

Para siswa sekolah belajar  berbasis daring dalam bentuk aplikasi . (ilustrasi)
Foto:

Warisan Kolonial

Liberalisme menjaga warisan sistem pendidikan kolonial tetap dilanjutkan, bahkan setelah kolonial telah lama pergi. Ada tiga ciri pendidikan warisan kolonial di Indonesia.  Pertama, adanya dualisme pendidikan umum dan pendidikan agama. Florian Pohl (2009) mencatat sistem dualisme pendidikan ini awalnya diperkenalkan kolonial Belanda di abad 19. 

Kedua, dehumanisasi (tidak memanusiakan). Lembaga-lembaga pendidikan membunuh kecerdasan majemuk anak didik. Sekolah-sekolah mengakomodir satu dua jenis kecerdasan dan mengabaikan enam sampai tujuh kecerdasan lainnya. Jumlah mata pelajaran dan jam belajar yang terlalu banyak, diikuti ragam jenis kompetensi yang harus dikuasai, dan terlalu membebani peserta didik. 

Dehumanisasi juga juga dapat dibuktikan dari kecenderungan Kemendikbud melihat 56 juta peserta didik sebagai sumberdaya manusia sebagai faktor pertumbuhan ekonomi, bukan manusia yang disiapkan menjadi warga negara berkarakter adil beradab.

Ketiga, diskoneksi pendidikan. Ialah keterputusan hubungan antara pelajaran sekolah dengan realitas kehidupan peserta didik. Kepala para siswa dipenuhi dengan teks-teks yang disusun tidak berdasarkan pengalaman masyarakat lokal dan untuk membicarakan pengalaman masyarakat yang jauh dari mereka. Para siswa terperangkap dalam permainan teks tanpa realitas. 

Dalam ungkapan sastrawan WS Rendra, sekolah membawa peserta didik terasing dari masyarakat dan tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri. 

Itu sebabnya, program-program Merdeka Belajar fokus pada perbaikan literasi dalam makna tradisional yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Tidak membangun kemampuan berpikir kritis peserta didik. 

Dengan begitu, program-program Merdeka Belajar tidak dapat memperbaiki apapun dari kerusakan republik ini. Mungkin sedikit dapat memperbaiki nomor urut Indonesia dalam persaingan dan perangkingan kualitas pendidikan negara-negara di dunia menggunakan ukuran-ukuran penilaian versi rezim pasar. 

Padahal, negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, dan Swedia justru mengandalkan lembaga-lembaga pendidikannya menjadi produser utama nilai-nilai kebudayaan maju, seperti keadilan, demokrasi, kesetaraan, dan pluralisme. 

Sebagai contoh, bagaimana pendidikan membangun budaya kesetaraan dalam masyarakat di negara-negara Nordik itu? Peserta didik di negara-negara kawasan itu tidak boleh diseleksi dan diuji saat masuk sekolah hingga usia 16 tahun. Sekolah berkualitas disebarkan merata hingga semua siswa dapat menemukan sekolah terbaik tidak jauh dari rumah mereka. Para siswa dan orang tua karena itu tidak perlu berkompetisi mengakses sekolah-sekolah swasta atau sekolah yang jauh demi mengejar mutu lebih tinggi. 

Di Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan berperan menjaga strata dan kelas sosial tetap eksis, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak dari keluarga kaya mengakses sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren bergengsi dengan biaya sangat mahal. Keluarga kurang mampu mengirimkan anaknya ke sekolah negeri dengan mutu biasa saja. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement