REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memastikan proses hukum bagi korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku, HS (46 tahun). Pelaku merupakan pembina yayasan di Pontianak, Kalimantan Barat.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menegaskan, pihaknya akan terus mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memproses kasus tersebut. Nahar menyampaikan, keprihatinan mendalam kepada korban perempuan yang masih berusia 17 tahun.
"Kejadian tersebut harus menjadi pengingat kita bersama bahwa dimana pun anak berada, anak-anak rawan mendapatkan kekerasan seksual," kata Nahar dalam keterangannya, Sabtu (12/8/2023).
Nahar menuturkan, pada Juli 2022, korban dibawa oleh pelaku ke sebuah hotel seusai pulang dari perjalanan luar kota. Saat itu, korban tidak dapat menolak dan merasa takut jika akan terjadi masalah di sekolah karena pelaku merupakan pembina yayasan.
"Dari situlah, pelaku terus melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada korban hingga akhirnya hamil," ujar Nahar.
Mendapati korban hamil, pelaku enggan bertanggungjawab karena merasa anak yang ada di dalam kandungan korban bukanlah anaknya. Pelaku bahkan mendesak korban untuk melakukan aborsi.
"Dalam keadaan terdesak dan bingung, korban akhirnya mengikuti ajakan pelaku untuk melakukan aborsi dan korban dibawa ke sebuah salon di Jakarta pada Oktober 2022 silam," ujar Nahar.
Setelah itu, pelaku kembali membawanya ke hotel dan melakukan persetubuhan kepada korban. Hanya saja, Nahar menyebut, kejadian ini perlu dipastikan melalui proses penyidikan.
"Dan jika berkas perkaranya telah lengkap agar dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya," ujar Nahar.
Nahar mengungkapkan, awal mula kasus tindak pidana kekerasan seksual tersebut terungkap ketika orang tua korban melihat tingkah laku dan gelagat korban yang mencurigakan. Orang tua korban akhirnya bertanya kepada korban dan korban mengakui kejadian yang telah menimpanya.
"Dari pengakuan korban itulah, orang tua korban melaporkannya ke Polresta Pontianak," ujar Nahar.
Saat ini, korban telah mendapatkan perlindungan dari LPSK dan ditempatkan di rumah aman. Kasus ini pun masih dalam pendalaman proses hukum.
"Karena pelaku juga pernah menjabat sebagai anggota legislatif Kalimantan Barat," ucap Nahar.
Atas kejahatan tersebut, jika perbuatan pelaku memenuhi unsur pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka sesuai pasal 81 Ayat (1), ayat (3), dan Ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Untuk kasus dugaan aborsinya, jika memenuhi unsur pidana Pasal 45A jo Pasal 77A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka terancam pidana penjara 10 tahun dengan denda Rp 1.000.000.000,- (satu miliar). Sanksi pidana terkait aborsi ini juga sama diatur dalam pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.