Jumat 11 Aug 2023 14:08 WIB

Disanggah Jokowi Soal Hilirisasi Untungkan Cina, Faisal Basri Balik Jawab

Faisal kritik kebijakan hilirisasi di RI hasilnya justru lebih menguntungkan Cina.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Erik Purnama Putra
 Ekonom senior INDEF, Faisal Basri.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Ekonom senior INDEF, Faisal Basri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance  (Indef), Faisal Basri merespons sanggahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kritik yang disampaikan sebelumnya. Hal itu setelah Faisal mengkritik kebijakan hilirisasi sumber daya alam di Indonesia yang hanya menguntungkan negara lain, khususnya Cina.

Faisal sebelumnya mengkritik kebijakan hilirisasi lantaran hasilnya justru lebih menguntungkan Cina sebagai negara industri. Presiden Jokowi pun menepis kritik Faisal menggunakan data. Presiden menyebut saat diekspor mentahan hanya menghasilkan nilai Rp 17 triliun .Sedangkan setelah dihilirisasi menjadi Rp 510 triliun.

Baca Juga

Menurut Jokowi, negara tentu akan lebih mengambil keuntungan besar dari sisi perpajakan. Faisal kini balik menggugat angka yang dipaparkan RI 1.

"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh Cina," tulis Faisal melalui situs pribadinya dikutip di Jakarta, Jumat (11/8/2023).

Dalam tulisannya, Faisal mengutip data 2014, di mana nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp 1 triliun. Angka tersebut diperoleh dari nilai ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama sebesar Rp 11.865 per dolar AS.

"Lalu, dari mana angka Rp 510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun," ujar eks sekjen PAN tersebut.

Meski demikian, terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden Jokowi dan dirinya, Faisal mengakui, benar adanya lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Dia menyebut, kenaikan itu sangat fantastis.

"Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki Cina, dan Indonesia menganut sistem rezim devisa bebas," tutur Faisal.

Dia mengatakan, tentunya menjadi hak perusahaan Cina untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri. Faisal pun menekankan, ekspor nikel berbeda dengan komoditas sawit dan turunannya yang dikenakan pungutan ekspor dan bea keluar yang ditarik pemerintah.

"Untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ujarnya.

Faisal menjelaskan, ketika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel justru bebas pajak keuntungan badan. Sebab, mereka menikmati fasilitas insentif tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

Penerimaan pemerintah nihil...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement