Kamis 10 Aug 2023 12:19 WIB

Demokrasi, Sopan Santun, dan Civic Intelligence

Penghormatan berlebihan terhadap perilaku tak terhormat sebenarnya adalah penghinaan.

 Rocky Gerung
Foto: Antara/Didik Suhartono
Rocky Gerung

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi (Dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

 

Baca Juga

 

Narasi 'Bajingan Tolol Rocky Gerung' ramai di media massa dan maya. Pihak yang paling ribut adalah mereka yang tidak suka dengan penyataan RG. Ada yang menuntut RG minta maaf, ada yang balik menghina RG, sampai ada yang demonstrasi dengan massa yang dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Reaksi tersebut viral di media massa, terutama di dunia maya. 

Intinya, orang-orang yang terganggu dengan pernyataan RG menuntut sopan santun jika mengkritik Presiden. Presiden adalah simbol negara, kata mereka. Ada juga yang menganggap Presiden sebagai keluarganya. "Presiden Jokowi adalah bapak kami," kata mereka.

Tentu keduanya salah kaprah. Presiden itu diganti secara periodik, sehingga tidak mungkin dianggap sebagai simbol negara, apalagi sebagai 'bapak'. Namun, begitulah kemarahan, kadang perlu diikuti dengan dramatisasi yang di luar nalar, agar memancing kemarahan orang lain juga. 

Budaya sopan santun 

Jika memakai etika budaya, terutama budaya Jawa, tentu perkataan RG akan terasa tidak sopan. Hal ini karena budaya masyarakat Jawa yang terbiasa dengan feodalisme. Dalam bahasa akademiknya, high power distant. Seseorang dengan power, jabatan, atau usia yang lebih tinggi, sudah seharusnya diperlakukan dengan sopan. Bahasa perlu di-hinggil-kan, postur-gestur tubuh perlu dibungkuk-kan, dan intonasi suara perlu direndahkan. Semua dilakukan semata-mata untuk menjaga perasaan orang yang dianggap 'lebih tinggi' tersebut.  

Tapi bukan berarti, orang Jawa tidak memiliki cara untuk menyampaikan ketidaksetujuannya kepada orang yang dianggap derajatnya lebih tinggi. Di dalam keraton, etikanya adalah tidak boleh berkata tidak atas titah raja. Namun, ketika penasehat kerajaan merasa pendapat rajanya benar-benar salah, maka mereka tetap berkata tidak dengan cara yang berbeda.

Biasanya, para penasehat tersebut membenarkan terlebih dahulu pendapat rajanya, lalu diikuti dengan mengingatkan dampak yang terjadi jika keputusan raja dilaksanakan. Setelah itu, gongnya adalah memberikan pesan bahwa dirinya sudah mengingatkan dan tidak ikut-ikut bertanggung jawab. Misalnya, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, penasehat berkata, "baik Tuanku, pendapat tuan sangat bagus. Saya hanya mengingatkan saja. Misalnya ada apa-apa, saya hanya bisa membantu di belakang Tuan". 

Yang paling nyeni dari perilaku orang Jawa adalah mereka juga menggunakan gaya sopan-santun justru untuk menghina orang yang mereka anggap pantas dihina. Saya teringat berita kriminal, seorang pencuri ditangkap polisi. Lalu ketika sampai di kantor polisi, pencuri itu disambut oleh polisi seperti mereka sedang menyambut tamu istimewa. Padahal si pencuri sedang diborgol, dan kalau tidak salah dalam keadaan pincang kakinya.

Entah mengapa kakinya sampai seperti itu. Sehingga yang terlihat adalah pemandangan yang aneh. Ada sekelompok orang berperilaku sopan santun kepada sosok yang jelas kebejatannya. Orang yang kecerdasan indigenous-nya bagus, pasti paham, bahwa itu adalah tindakan pelecehan.

Penghormatan yang berlebihan terhadap perilaku yang tidak terhormat, sebenarnya adalah penghinaan. Sama seperti, seorang anak yang bapaknya hansip. Lalu ketika bermain dengan teman-temannya, ia dipanggil dengan 'anak jendral'. Maka sebenarnya itu adalah penghinaan, bukan pujian.

Itulah sebabnya, dalam teologi Islam, Allah subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang mengatakan Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Selain karena hal tersebut melecehkan Tuhan, panggilan 'Anak Tuhan' adalah pelecehan terhadap Nabi Isa AS itu sendiri.

Nabi Isa adalah anak manusia. Memanggilnya dengan sebutan 'Anak Tuhan' adalah penghinaan orang yahudi kepada Nabi Isa AS. Kalau dalam psikologi, sering dipahami dengan, "sesuatu yang berlebihan, justru menimbulkan makna yang sebaliknya."

Bukankah jika orang terlalu sering tertawa, justru perlu dimaknai sebagai orang yang penuh beban hidup? Bahkan orang jika terlalu bahagia justru akan menangis.

Dengan perspektif di atas, sebenarnya perilaku politik Indonesia itu penuh dengan penghinaan. Bahkan, yang menghina merasa mendukung. Contoh, timses capres atau buzzer tokoh tertentu, sering melebih-lebihkan atribut sosial junjungannya.

Semasa kampanya pilpres 2019, seringkali capres diberi label yang melampaui kapasitasnya. Ada yang disamakan dengan Sayyidina Umar bin Khattab. Ada yang disamakan seperti Nabi Isa. Ada juga yang dikatakan titisan Bung Karno. Padahal masyarakat melihat sendiri, betapa jauh kualitas capres-capres tersebut dari Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, apalagi dengan Nabi Isa AS. Ini sebenarnya penghinaan. Tapi karena mereka tidak punya kecerdasan indigenous, maka merasa hal tersebut hanya sekedar promosi, layaknya iklan-iklan di televisi. 

Hakikat penghinaan dan pujian

Penghinaan adalah memberikan atribut negatif atau buruk terhadap perilaku atau sifat orang lain. Pujian adalah kebalikan dari penghinaan. Namun, hakikatnya hinaan dan pujian itu sifatnya netral. Menghina orang lain belum tentu buruk, dan memuji orang lain belum tentu baik.

Hinaan bisa saja dianggap sebagai kebaikan, atau sebagai akhlak yang mulia. Begitu juga pujian. Ia dapat dikatakan sebagai akhlak mulia, juga dapat dikatakan sebagai akhlak tercela. Semua tergantung konteks hinaan atau pujian tersebut.

Penghinaan baru dapat berkonotasi buruk jika atribut negatif dilekatkan kepada orang yang berperilaku baik. Jika ada Muslimah menjadi ibu rumah tangga karena taat kepada suaminya, lalu anda katakan dia sebagai budak lelaki, maka istilah 'budak lelaki' adalah penghinaan. Karena taat kepada suami dalam perkara-perkara yang tidak haram adalah kebaikan, sedangkan 'budak lelaki' adalah istilah merendahkan perilaku kebaikan tersebut.

Namun, misal ada pejabat yang korupsi uang bansos, lalu anda beri attribut 'bajingan tengik' pada perilaku korupsinya, maka itu tidak bisa dikatakan akhlak tercela. Justru hal tersebut bisa diartikan sebagai akhlak terpuji. Alasannya adalah memberi label buruk kepada perilaku buruk, memang sudah sepantasnya.

Selain itu, efek sosialnya adalah edukasi dan efek jera. Masyarakat akan lebih paham dengan istilah yang mengandung unsur sentimen daripad argumen. Melekatkan atribut 'bajingan tengik' kepada koruptor bansos akan membuat masyarakat jijik dengan perilaku tersebut. 

Ada yang membantah, contoh kedua di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Siapa bilang! Kalau merujuk tarikh Islam, para penjahat kakap yang kejahatannya memberikan dampak sosial yang luas pada masyarakat, diberi label buruk oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama.

Contoh, Amr bin Hisyam, seorang petinggi Quraish musuh bebuyutan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama. Masyarakat Quraish memberinya gelar 'Abul Hakam' atau bapak kebijaksanaan. Kalau zaman Yunani, ia setara filosof, karena pembawaannya santun dan kata-katanya dianggap sangat bijaksana kala itu. Namun ia adalah orang yang sebenarnya korup dan menentang kebenaran. Sehingga masyarakat Quraish kala itu benar-benar terbelakang karena orang ini.

Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama melarang sahabat-sahabatnya memanggi Amr bin Hisyam dengan panggilan 'Abul Hakam'. Beliau menyematkan atribut baru kepada Amr bin Hisyam yaitu 'Abu Jahal', atau biangnya kedunguan. Semata-mata agar orang Quraish memahami hakikat perilaku Amr bin Hisyam dari nama barunya tersebut. Juga agar orang Quraish jijik dan menjauh darinya.

Apakah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama melakukan penghinaan? Ya jelas itu! Tapi apakah penghinaan yang dilakukan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama adalah bentuk akhlak tercela? Tidak! Justru itu adalah sebaik-baik akhlak. Akhlak inilah yang pernah coba ditiru oleh Pemuda Muhammadiyah ketika dipimpin oleh Dahnil Anzar Simanjuntak. Dahnil membuat gerakan memanggil koruptor dengan sebutan 'maling'. Karena kata 'maling' itu secara psiko-kultural lebih dipahami, dan merendahkan harkat derajat pelakunya. Selain itu, lebih menggerakkan masyarakat untuk menjauhi perilaku korupsi, dan menjauhi pelaku korupsi. 

Sebaliknya, pujian itu tidak selalu baik. Pujian bisa jadi buruk jika tidak tepat konteks. Anda memuji perilaku baik, adalah kebaikan. Namun, jika anda memuji-muji perilaku, atau orang yang jelas-jelas melakukan keburukan, maka itu justru akhlak yang tercela.

Bayangkan saja, ada orang yang di hadapan anda mengatakan, "Masya Allah...baik sekali presiden kita, memberikan lapangan kerja kepada warga negara asing". Padahal di negaranya, pengangguran merajalela. Apalagi lapangan kerja yang diberikan kepada orang asing itu adalah lapangan kerja yang mampu dikerjakan oleh tenaka kerja lokal. Pujian seperti itu, selain salah kaprah, salah tempat, juga nir-empati sama sekali. Atau lebih mudahnya, pujian yang seperti itu adalah pujian yang tercela.

Etika demokrasi

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, etika demokrasi dijunjung tinggi. Salah satu prinsip demokrasi adalah kesetaraan. Kesetaraan pada dasarnya anti-tesis dari feodalisme, yang mewajibkan sebagian masyarakat merendahkan diri kepada sebagian kelompok masyarakat lain. Konsekuensinya adalah, etika hubungan sosialnya juga akan berbeda dengan etika budaya feodal. Seseorang dapat mengatakan ketidaksetujuan secara lugas kepada pengelola pemerintahan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah pejabatnya tersinggung atau tidak. Singkatnya, prinsip yang dikenal demokrasi adalah kesetaraan dan kebebasan berpendapat, bukan sopan santun.

Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat tidak boleh dihalangi dengan syarat apapun, termasuk syarat 'tidak boleh menghina'. Karena jika berpendapat diikuti dengan syarat 'tidak boleh menghina' maka itu artinya orang wajib memuji ketika berpendapat. Hal tersebut tidak bisa diterima oleh demokrasi karena syarat 'tidak boleh menghina' sama dengan menghilangkan prinsip kebebasan. Warga negara tidak memiliki kebebasan menghina atau memuji. Jadinya, warga negara hanya diwajibkan memuji saja. Ini yang ditolak demokrasi.

Namun, kebebasan dalam demokrasi bukanlah kebebasan dalam arti bebas memaksakan kehendak. Warga negara dibebaskan menyampaikan pendapatnya dengan ekspresi apa pun, namun tidak bolek memaksakan pendapatanya harus diterima oleh penguasa. Penguasa punya hak mendengar atau tidak mendengar aspirasi dari warga negara. Atau dalam bahasa metaforisnya, pemerintah boleh tutup telinga, tapi tidak boleh menutup mulut warga negara. Pemerintah menjamin kebebasan berpendapat, tapi boleh tidak menanggapi sama sekali. 

Kalau kita kembali ke kasus RG yang dianggap menghina warga negara, maka hubungan antara RG dan presiden Jokowi tidak ada masalah dalam perspektif demokrasi. RG melampiaskan kekesalannya dengan mengatakan presiden Jokowi 'Bajingan tolol' dan presiden Jokowi diam saja alias tidak menanggapi kritik RG. Sudah benar itu hubungan keduanya! Presiden Jokowi tidak menuntut RG atas tindakan penghinaan, itu artinya presiden Jokowi menjaga kebebasan berpendapat warga negara. Presiden diam artinya 'tutup telinga', dan itu hak demokratis seorang penguasa.

Civic intelligence

Yang tersinggung justru orang-orang yang tidak berkaitan sama sekali dengan interaksi RG dan presiden Jokowi. Bahkan, orang-orang yang tersinggung ini adalah orang-orang pemerintahan. Ketersinggungan mereka sampai pada taraf tidak cerdas berwarga negara, alias civic intelligence-nya rendah.

Alasannya paling tidak ada dua. Pertama, warga negara Indonesia memilih presiden, bukan raja. Presiden adalah kekuasaan sekaligus jabatan publik yang diberikan secara demokratis. Oleh karenanya, interaksi antara warga negara dan presiden menggunakan etika demokrasi, bukan etika kerajaan.

Dalam etika demokrasi, warga negara bebas menyampaikan pendapatnya. Kebebasan ini tidak boleh dihalangi oleh kaedah 'tidak boleh menghina' atau sejenisnya. Saya hanya ingin mengatakan, orang yang ikut-ikutan tersinggung dengan ucapan RG kepada presiden Jokowi seperti orang yang kesadarannya masih terjebak di masa feodalisme. Sampai-sampai menuntut RG untuk dipenjara. Mereka seperti ikut pemilu, tapi bukan untuk mengangkat presiden. Mereka seperti orang yang ke TPS untuk memilih raja. Aneh bin ajaib!

Orang yang civic intelligence-nya bagus, akan mengerti konteks interaksi sosial. Mereka tidak akan menggunakan etika keluarga ketika sedang berinteraksi sebagai warga negara. Tapi kenyataannya, banyak yang tersinggung dengan RG sampai-sampai mengatakan, "Jokowi adalah bapak kami". Padahal bapak itu sifatnya permanen, sedangkan presiden adalah jabatan sementara. Orang-orang yang membawa-bawa perasaan kekeluargaan, padahal bukan siapa-siapanya Jokowi, adalah orang yang civic intelligence-nya tidak berfungsi sehingga kesadarannya diambil alih oleh perasaan-perasan yang tidak masuk akal.

Kedua, orang yang tersinggung, padahal mereka bagian dari pemerintahan, seharusnya mereka memberikan counter argument kepada RG. Sampaikan data-data yang menunjukkan bahwa RG keliru. Bukan malah mengajak masyarakat untuk memenjarakan warga negara lain. Apa yang mereka lakukan ini seperti centeng (preman) kerajaan. Artinya sama saja, tubuh para pejabat ini hidup di zaman demokrasi, namun kesadarannya masih ada di zaman feodal.

Sadar konteks etika

Orang yang cerdas berwarga negara, mengetahui konteks etika interaksi sosial. Orang-orang ini paham perbedaan etika dalam keluarga, pertemanan, hubungan guru dan murid, dengan etika bernegara secara demokratis. Problem kritisime sebenarnya bukan hina-menghina, atau puji-memuji. Namun lebih pada kecerdasan warga negara membedakan konteks interaksis sosial. Masalah muncul ketika orang menilai interaksi bernegara dengan kacamata etika keluarga atau etika kerajaan, seperti yang sudah dijabarkan di atas. Atau di dunia kampus, mahasiswa memakai etika bernegara-demokrasi ketika berinteraksi dengan dosennya. Sehingga menganggap mahasiswa memiliki kedaulatan tertinggi di kampus.

Padahal kesetaraan dan kedaulatan di kampus adalah kesetaraan dan kedaulatan intelektualitas. Bukan kedaulatan berkaitan dengan kepemilikan dan penentuan kebijakan kampus. Ini yang masih menjadi tantangan kita bersama.

Sebagai penutup, yang perlu kita khawatirkan bukan perpecahan bangsa karena kritik. Namun lebih kepada ketidakcerdasan berwarga negara. RG dan Presiden Jokowi sudah cerdas berwarga negara. Keduanya menampilkan interaksi bernegara dengan etika demokrasi yang tepat. Justru yang perlu introspeksi adalah mereka yang merasa tersinggung dengan interaksi RG dan Presiden Jokowi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement