Rabu 09 Aug 2023 18:44 WIB

Muhadjir Akui Enam Warga Meninggal Akibat Diare Karena Kelaparan

Muhadjir mengaku sempat marah ada yang menyebut bukan karena kelaparan tapi diare.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus raharjo
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat memberikan keterangan pers usai Rapat Tingkat Menteri Penanganan Dampak Bencana Kekeringan di Papua Tengah di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat memberikan keterangan pers usai Rapat Tingkat Menteri Penanganan Dampak Bencana Kekeringan di Papua Tengah di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (9/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengakui, enam warga meninggal akibat bencana kekeringan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah memang diakibatkan diare. Namun demikian, penyakit diare yang menyebabkan warga meninggal itu terjadi karena adanya kelaparan di wilayah tersebut.

"Bener meninggalnya diare. Kan nggak ada visum dokter meninggal kelaparan nggak ada. Ya diare itu karena kelaparan. Saya agak marah kemarin di sana, diplintir, masa ada ini bukan karena kelaparan tapi diare, iya diarenya karena laper. Kan nggak ada dokter diagnosis mati karena kelaparan. Sebabnya diare karena bakteri mematikan itu," ujar Muhadjir dalam sambutan penutup di acara Seminar Nasional Transformasi Peradaban Bahari Menuju Indonesia Emas 2045 di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Baca Juga

Muhadjir menjelaskan, adanya cuaca ekstrem berupa kabut es membuat umbi-umbian yang merupakan makanan pokok masyarakat membusuk. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki bahan bahan makanan lain selain umbi-umbian tersebut dan menjadi penyebab masyarakat mengalami diare.

"Umbi busuk semua. Nah itu kalau dimakan itu terus jadi diàre itu. Sampai meninggal. Makanya bener meninggalnya diare," ujarnya.

Karena itu, Pemerintah menilai perlunya mencari varietas umbi-umbian yang tahan terhadap cuaca ekstrem di Papua Tengah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya kelaparan di wilayah tersebut di masa mendatang.

"Saya sudah meminta IPB untuk mengkaji kira-kira umbian apa yang bisa ganti umbi di sana. Karena musimnya sudah dipastikan nanti menjelang Juli atau awal pertengahan Juni ada hujan es, nanti kalau setelah hujan es itu kemudian ada kabut es, kabut es ini nggak tahu karakternya apa itu yang membikin umbi-umbian busuk, makanan pokok maka umbi bukan padi," ujarnya.

Sebelumnya, terjadi krisis pangan di dua distrik di Kabupaten Puncak, Papua Tengah yang berdampak ke 7.500 warga di wilayah tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut telah mendistribusikan sebanyak 7.685 kilogram (kg) logistik bantuan krisis pangan ke daerah itu.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyampaikan, bantuan berupa sembako, matras, selimut, genset, dan tenda gulung ini telah terdistribusi

"Per 7 Agustus di Sinak kita sudah menurunkan 3,8 ton dan di Agandugume sudah 3,8 ton, Agandugume ini yang lebih dekat dengan daerah yang terdampak, dan untuk ke Sinak kita sudah stop karena jaraknya jauh," ujar Muhari dalam keterangannya, dikutip Selasa (8/8/2023).

Muhari menjelaskan, cuaca dan medan yang sulit menjadi kendala dalam penyaluran bantuan pangan ke wilayah yang dilanda kekeringan di Papua Tengah. Namun demikian, tim bantuan dari Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mengirimkan bantuan tersebut.

“Mulai dari hari Sabtu kemarin tanggal 5 itu kita sudah bisa tembus ke Agandugume dan setiap hari kita usahakan ada apa bantuan yang kita kirimkan dengan pesawat caravan, jadi pesawat caravan ini satu porsinya itu cuma bisa mengangkut 900 kg,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement