Senin 07 Aug 2023 14:24 WIB

Kekerasan di Sekolah, Quo Vadis Kurikulum Merdeka?

Prematur bila langsung menghakimi kurikulum merdeka gagal dengan maraknya perundungan

Stop Bullying. Tindakan bullying di sekolah meningkat apakah karena kurikulum merdeka yang mulai diterapkan secara bertahap di banyak sekolah?
Foto:

Paradoks Pendidikan

Masyarakat perlu diedukasi dalam memahami pendidikan. Dengan kentalnya pola pikir industri dalam pendidikan saat ini, seakan-akan sekolah tidak memiliki daya tawar (bargaining power) dalam membangun relasi dengan masyarakat. Kasus PPDB menjadi bukti jelas. Masyarakat melakukan segala cara untuk diterima di sekolah, bahkan dengan pemalsuan dokumen-dokumen negara, sekolah ditekan pula oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan oknum pejabat publik, untuk menerima siswa-siswa tertentu.

Namun saat terjadi kekerasan dengan korban guru, atau perundungan terhadap siswa, sedikit pihak yang tergerak untuk mencari solusi atas masalah tersebut. Berbeda bila pungutan liar terjadi. Seluruh komponen ikut memviralkan hal tersebut sehingga pihak sekolah hati-hati dan waspada terhadap praktik pungutan liar. Ini yang menjadi paradoks di dunia pendidikan.

Pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah merupakan kegiatan nirlaba, meski ia terus didorong untuk melibatkan masyarakat dalam hal pendanaan. Sayangnya, kepedulian masyarakat terhadap pendidikan hanya terpaku pada (1) bagaimana anaknya diterima di sekolah tersebut; dan (2) memerangi pungutan liar. Sementara hal penting lain, seperti bagaimana masyarakat turut serta dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif, menumbuhkan keamanan, kebahagian dan kesejahteraan siswa (student wellbeing) tidak nampak dukungannya. Terbukti, sekolah seakan-akan berjuang sendiri dalam menyelesaikan masalah perundungan.

Seharusnya, tanggung jawab orang tua dan masyarakat tidak berhenti saat anaknya diterima pada PPDB, namun dikawal dalam proses pembelajarannya, didukung dalam pembentukan kepribadiannya, membangun kolaborasi baik dalam wadah komite sekolah maupun yang lainnya, sehingga praktik-praktik perundungan atau kekerasan lain dapat terdeteksi sejak dini. Student wellbeing tidak akan pernah terjadi bila gurunya tidak mengalami wellbeing. Rasa aman, cinta, sehat, bahagia (loving, being, having, health) oleh Konu dan Rimpel (2002) disebut syarat sekolah yang sejahtera (school wellbeing).

Sekolah oleh Ki Hajar Dewantara diibaratkan sebagai taman di mana siswa mendapatkan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, bukan kekerasan, penindasan, intimidasi dan tindakan kekerasan lainnya. Sehingga aneh, bila perundungan terus meningkat dan cenderung dibiarkan karena menyelisihi filosofis pendidikan.

   

Quo Vadis Kurikulum Merdeka?

Kurikulum merdeka sejatinya menjadi instrumen yang diandalkan dalam mendidik siswa agar ia menjadi warga negara yang baik (a good citizen). Profil pelajar Pancasila tidak hanya sekadar ungkapan hampa tanpa bukti nyata.

Penerapan kurikulum merdeka ini baru akan menginjak tiga tahun di beberapa sekolah penggerak dan sudah setahun diterapkan di sekolah yang mengikuti skema implementasi kurikulum merdeka secara mandiri. Prematur bila kita langsung menghakimi bahwa kurikulum merdeka gagal dengan maraknya perundungan.

Namun tentunya, tidak ada salahnya bila pengembang kurikulum terus melakukan penyesuaian agar ia dapat lebih praktis diterapkan dan, yang terpenting, mengubah mindset pendidik sebagai “kurikulum hidup” bahwa proses pendidikan harus berpihak kepada siswa dan untuk kebutuhan siswa. Dengan kata lain, guru perlu dimerdekakan mindsetnya dari pola pikir lama yang sudah usang. Sekolah harus dibebaskan dari berbagai intimidasi, intervensi untuk kepentingan sesaat, dan praktik kekerasan yang menjauhkan bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan.

Organisasi profesi beserta stakeholders pendidikan selayaknya mengakhiri perdebatan melelahkan tanpa ujung mengenai kurikulum merdeka ini. Apalagi penolakan atas kurikulum merdeka didasari oleh like and dislike atau paradigma ganti menteri ganti kurikulum. Seakan-akan kurikulum merupakan benda sakral yang tidak boleh tersentuh oleh perubahan. Padahal dalam konteks perguruan tinggi, perubahan kurikulum di tingkat program studi lazim terjadi setelah dievaluasi selama dua tahun sekali.

Perubahan adalah hal wajar, tidak perlu dijadikan masalah besar, terlebih hal ini untuk perbaikan dan kemajuan siswa. Semua pihak fokus pada pelaksanaan pembelajaran dan memberikan saran dan masukan kepada pengembang pendidikan agar lingkungan belajar yang dapat menciptakan student-teacher wellbeing dapat dihadirkan secara utuh untuk kepentingan siswa.

Dalam konteks ini, keberadaan organisasi profesi memperkuat perlindungan terhadap profesi guru, sehingga, dalam pandangan Prof Cecep Darmawan, Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, sekolah menjadi institusi yang ramah anak dan juga ramah guru. Bahkan lebih jauh, beliau menginisiasi terbentuknya Komisi Perlindungan Guru (KPG) sehingga dapat mengurai permasalahan yang menimpa guru, sebagaimana masalah yang terjadi pada siswa.

Pemerintah dalam menyelesaikan masalah kekerasan di sekolah, tidak hanya cukup mengubah kurikulum, namun juga memperkuat terbentuknya sekolah ramah untuk semua (school wellbeing). Menolak seluruh tindakan kekerasan yang terjadi ke sekolah. Wallahu’alam bishshawwab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement