Selasa 01 Aug 2023 20:10 WIB

ELSAM Ingatkan Komitmen Presiden Evaluasi Penempatan TNI di Jabatan Sipil

ELSAM ingatkan komitmen Presiden soal evaluasi penempatan TNI di jabatan sipil.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Prajurit TNI (ilustrasi). ELSAM ingatkan komitmen Presiden Jokowi soal evaluasi penempatan TNI di jabatan sipil
Foto: Antara
Prajurit TNI (ilustrasi). ELSAM ingatkan komitmen Presiden Jokowi soal evaluasi penempatan TNI di jabatan sipil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengingatkan komitmen Presiden Joko Widodo yang ingin mengevaluasi menyeluruh penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga. Hal ini setelah penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK, mengacu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer membuat anggota TNI berpotensi lolos jerat hukum pidana.

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan, kondisi perlu menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah untuk tidak membuka ruang yang terlalu luas bagi aparat militer aktif.

Baca Juga

"Tentu ini menjadi pertimbangan penting agar kita tidak membuka ruang yang terlalu luas dan terlalu lebar bagi aparat militer aktif untuk kemudian masuk ke dalam posisi jabatan-jabatan sipil gitu," ujar Wahyudi dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (1/7/2023).

Wahyudi mengatakan, kasus yang terjadi belakangan ini menunjukan mekanisme akuntabilitas dari tindakan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang dari aparat militer masih mengacu UU Peradilan Militer. Hal ini menjadi instrumen imunitas bagi perwira militer yang kemudian diduga terlibat dalam satu kasus tindak pidana korupsi.

Padahal kata Wahyudi, ketika seorang perwira aktif sekalipun saat menduduki jabatan posisi sipil seharusnya tunduk pada mekanisme akuntabilitas hukum sipil atau peradilan umum. Apalagi, UU Tindak Pidana korupsi atau UU KPK juga sudah menempatkan tindak pidana korupsi sebagai lex spesialis.

"Tetapi, tidak bisa menjangkau perwira militer aktif padahal dia menjalankan pekerjaan dan tugas itu dalam kapasitas sebagai pejabat sipil semestinya itu tidak ada kaitan dengan kedinasan-kedinasan militernya dia," ujar Wahyudi.

Karenanya, kondisi ini sangat problematis sehingga diperlukan kebutuhan revisi UU Peradilan Militer. Hal ini mengantisipasi jika penempatan perwira militer aktif di sejumlah jabatan sipil masih terus berlanjut.

"Kita ada kebutuhan untuk segera merevisi UU peradilan militer agar tidak kemudian dia terus menjadi akar dari seluruh imunitas yang terjadi terutama yang terkait akuntabilitas militer ketika melakukan tindakan pelanggaran atau dugaan dugaan yang lain," ujarnya.

Dia melanjutkan, dengan skema peradilan militer diterapkan pada perwira yang ditempatkan di jabatan sipil membuat tidak berjalannya mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam proses hukumnya.

Sebab, dalam peradilan militer mulai dari perwira penyerah pertama, atasan yang berhak menghukum, penasihat hukum hingga hakim berasal dari militer. Kondisi itu didasarkan terkait perkara pertahanan militer yang harus dirahasiakan.

"Sementara (kalau kasus sipil) ini kan dugaan pelanggannya hukum yang terjadi kaitannya dengan urusan sipil dimana butuh suatu transparansi dan akuntabilitas dimana sipil publik harus tau, tapi ini kan tidak bisa justru malah prosesnya itu dikendalikan merujuk pada UU Peradilan Militer," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga pascapenetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK.

Desakan evaluasi penempatan perwira militer aktif ini muncul usai KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.

Namun, pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.

Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement