REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga tersangka kasus dugaan korupsi pembayaran tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggunakan rekening milik orang lain untuk menampung uang hasil korupsi. Informasi itu didalami dengan memeriksa saksi, seorang wiraswasta bernama Budi Hartono pada Kamis (20/7/2023).
"Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya aliran perputaran uang tukin yang kemudian ditampung dalam rekening bank orang kepercayaan dari tersangka PAG (Subbagian Perbendaharaan Priyo Andi Gularso) dan kawan-kawan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/7/2023).
Ali tak membeberkan jumlah uang yang ditampung Priyo dalam rekening tersebut. Namun, KPK meyakini, keterangan Budi dapat membantu pengusutan kasus ini.
Sebelumnya, KPK telah menahan 10 tersangka kasus rasuah pembayaran tukin di lingkungan Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2020-2022. Dari perbuatan curang itu diduga telah merugikan keuangan negara mencapai Rp 27,6 miliar.
Kesepuluh tersangka itu, yakni Subbagian Perbendaharaan/PPSPM Priyo Andi Gularso; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Novian Hari Subagio; staf PPK Lernhard Febrian Sirait; dua Bendahara Pengeluaran Abdullah dan Christa Handayani Pangaribowo. Kemudian, pihak PPK Haryat Prasetyo; Operator SPM Beni Arianto; Penguji Tagihan Hendi; PPABP Rokhmat Annashikhah; dan Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi Maria Febri Valentine.
Kasus ini bermula saat Kementerian ESDM pada periode 2020-2022 merealisasikan pembayaran belanja pegawai berupa tunjangan kinerja Rp 221,9 miliar. Selama periode tersebut para pejabat di perbendaharaan Ditjen Minerba yang kini menjadi tersangka, diduga memanipulasi dan menerima pembayaran tukin yang tak sesuai dengan ketentuan.
Dalam kasus tersebut, para tersangka diduga menikmati nominal uang yang berbeda. Priyo Andi Gularso menerima Rp 4,75 miliar; Novian Hari Subagjo mendapatkan Rp 1 miliar.
Kemudian, Lernhard Febian Sirait menerima jumlah uang paling besar, yakni Rp 10,8 miliar. Lalu, Abdullah mengantongi Rp 350 juta; Christa Handayani Pangaribowo sebesar Rp 2,5 miliar; Haryat Prasetyo Rp 1,4 miliar; Beni Arianto Rp 4,1 miliar; Hendi Rp 1,4 miliar; Rakhmat Annashikhah Rp 1,6 miliar; dan Maria Febri Valentine Rp 900 juta.
Uang yang diperoleh dari praktik curang itu diduga digunakan untuk keperluan pemeriksaan BPK senilai Rp 1,035 miliar hingga dana taktis operasional kantor. Selain itu, para tersangka juga memakai uang yang diperoleh untuk keperluan pribadi masing-masing.