REPUBLIKA.CO.ID, Gerbang berwarna merah yang dihias dengan lampion menjadi penanda pintu masuk Wihara Amurva Bhumi. Lokasinya berada di antara gedung pencakar langit. Tidak main-main, Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin, nama lain wihara tersebut memang berada di antara pusat perkantoran yang tidak jauh dari kawasan Jalan Jenderal Soedirman.
Lokasi persisnya berada di Jalan Prof Dr Satrio Nomor 2, RT 04, RW 04, Kelurahan Karet Semanggi, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan (Jaksel). Uniknya, vihara ini berdiri di samping Masjid Hidayatullah.
Masuk ke halaman, aura bangunan dengan arsitektur khas negeri Tirai Bambu begitu terasa. Ukiran naga di atas gedung utama yang dijadikan altar doa semakin meneguhkan perjalanan panjang saksi hidup peradaban Ibu Kota ini.
Wihara Amurva Bhumi disebut sudah berdiri sejak lebih seabad lalu. Wihara ini termasuk Kelenteng Tri Dharma yang menyediakan altar sembahyang bagi penganut agama Buddha, Konghucu, dan Tao.
Sayangnya, sejak 2022, vihara ini terlibat konflik sengketa lahan dengan PT Danataru Jaya terkait akses jalan menuju kelenteng. Pengurus Wihara Amurva Bhumi, Indra Gunawan menjelaskan, akses jalan masuk sebenarnya berstatus tanah hibah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Dia tidak tahu bagaimana caranya, kemudian lahan itu diklaim sepihak oleh PT Danataru Jaya. "PT juga mengakui kali tersebut milik dia, padahal itu merupakan aset pemda. Kita juga tidak menggunakan akses tanah dia sebenernya, kita menggunakan akses tanah hibahan dari pemda," ujar Indra saat ditemui Republika.co.id di Wihara Amurva Bhumi, Kamis (20/7/2033) sore WIB.
Hanya saja, konflik yang mendera wihara sepertinya tidak membuat pengurus terganggu. Buktinya, mereka terlihat bergotong royong mempersiapkan acara menyambut Hari Sejit Wihara Amurva Bhumi ke-103 yang akan diselenggarakan di kelenteng tersebut pada Ahad (23/7/2023).
Indra menyampaikan, Yayasan Wihara Amurva Bhumi harus mengeluarkan dana sebesar Rp 1,3 miliar untuk membayar denda atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jaksel. PT Danataru Jaya dimenangkan hakim dalam sidang gugatan kepada pengurus wihara.
Hal itu masih ditambah putusan hakim, pengurus harus membayarkan uang paksa sebesar Rp 200 ribu setiap bulannya. Jika vonis pengadilan dieksekusi maka para warga yang ingin ibadah maupun berkunjung bakal kesulitan jika akses masuk direbut PT Danataru Jaya.
"Menurut saya keputusan hakim itu tidak make sense dan tidak mempunyai naluri, masa tempat peribadatan harus membayar denda. Ini kan tempat ibadah, bukan tempat mencari uang, kalau mau mencari uang ke tempat lain aja," ucap Indra geram.
Indra juga menjelaskan, dalam surat yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DKI, kelenteng tersebut sudah ditetapkan menjadi cagar budaya dan tempat wisata religius di kawasan Jaksel. Dengan status tersebut maka Wihara Amurva Bhumi seharusnya dilindungi.
"Jika bangunan ini sudah menjadi cagar budaya, tapi jika tidak ada pengunjungnya buat apa kalau akses jalan masuknya diambil oleh PT? Cagar budaya kan seharusnya dilestarikan," kata Indra.
Menurut dia, pengurus vihara terus berharap adanya keadilan dalam menyikapi konflik akses masuk. Indra berjanji akan bertarung habis-habisan di meja hijau berikutnya, karena pengurus vihara juga memiliki bukti kepemilikan akses yang kuat.