Rabu 19 Jul 2023 11:42 WIB

Nikah Beda Agama tak Dicatat di Dukcapil Kemendagri tanpa Ketetapan Pengadilan

MA melarang semua pengadilan mencatatkan pernikahan pasangan beda agama.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Teguh Setyabudi.
Foto: Dok Kemendagri
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Teguh Setyabudi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri bersikap sejalan dengan Mahkamah Agung (MA) yang resmi melarang hakim mengabulkan pernikahan beda agama. Ditjen Dukcapil menjamin tidak bakal ada pencatatan perkawinan beda agama kalau tidak dikabulkan oleh pengadilan.

Dirjen Dukcapil Kemendagri Teguh Setyabudi menyampaikan pihaknya tetap dalam ranah regulasi terhadap pelayanan pencatatan perkawinan. Hal itu menyikapi aturan internal terbaru MA yang melarang pengadilan mencatatkan pernikahan beda agama.

"Tidak akan pernah ada pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Dukcapil sepanjang pengadilan tidak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama dan sepanjang tidak ada penetapan pengadilan," kata Teguh dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/7/2023).

Teguh menjelaskan, Pasal 35 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur pencatatan pernikahan berlaku pula bagi perkawinan yang diputuskan pengadilan. Sedangkan perkawinan yang ditetapkan pengadilan merupakan pernikahan yang dilakukan antar umat berbeda agama dan keyakinan.

"Artinya perkawinan beda agama tidak dapat dicatatkan, kecuali ada penetapan pengadilan," ujar Teguh.

Pengadilan kini tidak bisa mengesahkan perkawinan beda agama. Ini tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Dalam SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli 2023, tertulis ketentuan tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu.

Pedoman pertama yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan pernikahan beda agama, yang membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon JEA yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement