REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Forum Dokter Susah Praktik (FDSP), Yenni Tan, mengatakan pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU dalam sidang paripurna ke-29 kemarin, menjadi tanda hari kemenangan bagi tenaga kesehatan. Menurut dia, pihaknya mengapresiasi kebijakan dalam UU Kesehatan metode Omnibus Law.
“UU ini beda dengan UU sebelumnya yang menguntungkan ormas tertentu, tapi merugikan banyak pihak,” kata Yenni dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX, Rabu (12/7/2023).
Yenni lantas membacakan pesan Dewan Pembina Koalisi FDSP Jude Heri karena berhalangan hadir. Dalam penjelasannya, Yenni mengatakan, klaim IDI yang menuding UU Kesehatan dibuat dengan tergesa-gesa adalah tidak benar.
“Awalnya karena UU Nomor 29 Tahun 2004, yang isinya memberikan IDI kewenangan sebagai organisasi profesi (OP) kesehatan tunggal yang memberikan izin praktik. Hal ini tidak dijumpai pada organisasi lainnya ataupun di luar negeri,” kata Yenni membacakan pesan Jude.
Menurut dia, kewenangan itu menempatkan IDI pada monopoli tersendiri. Namun, saat pihaknya mengajukan Judicial Review atas UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran beberapa tahun silam itu, pihaknya banyak mendapat penolakan.
“Pengajuan judicial review kami yang disetujui MK hanya larangan jabatan rangka anggota KKI,” tutur dia.
Menurut Yenni, dalam judicial review itu pihaknya meminta OP yang seharusnya juga bisa meliputi organisasi spesialis. Selain itu, tuntutan kolegium juga diminta independen dan tidak dibentuk oleh OP, termasuk larangan rangkap jabatan anggota KKI. “Selain larangan rangkap jabatan, yang lain ditolak,” tutur dia.
Setelah mendapat penolakan, para dokter dan guru besar yang tergabung saat itu, menurut dia, mulai mengadvokasi pemerintah dan DPR untuk menghapus kewenangan besar kepada OP tertentu. Dia memaparkan, pembahasan UU Kesehatan yang baru sebenarnya telah dimulai sejak akhir masa jabatan Menkes Nila Moeloek, dan dilanjutkan pada Menkes Terawan.
“Pada saat Menkes Budi sempat tertahan karena fokus pada Covid-19 dan penyediaan vaksin. Selanjutnya Menkes Budi juga melengkapi RUU dengan mencabut 9 UU dan mengubah empat UU. Demikian koreksi UU 29 Tahun 2004 tidak dilakukan terburu-buru,” katanya memaparkan.
Terpisah, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi, mengatakan pihaknya kecewa atas dukungan dan pertemuan DPR Komisi IX dengan organisasi kesehatan atau lembaga pendukung UU Kesehatan hari ini. Menurut dia, kekecewaan makin menjadi saat pihaknya dan masyarakat, belum pernah mendengar organisasi yang melibatkan diri dalam aturan kesehatan terbaru itu.
“Dan apa juga yang kemudian sudah dilakukan mereka kepada rakyat?” tanya Adib saat dikonfirmasi.
Tak sampai di sana, Adib juga mempertanyakan pembuktian, legitimasi ataupun peran mereka terhadap masyarakat secara luas. Apalagi, saat organisasi yang tak diketahui itu, lanjut Adib, malah dilegitimasi oleh lembaga negara, seperti DPR dan Komisi IX hingga Kementerian Kesehatan.
“Dan kita tidak tahu apakah organisasi-organisasi ini adalah organisasi yang memang sudah existing. Artinya, kita di IDI itu sudah existing, sudah ada pembuktian untuk rakyat, sudah sangat jelas,” tutur dia.
Tak sampai di sana, membandingkan dengan IDI, lanjut Adib, organisasi pendukung yang bertukar pandangan dengan Komisi IX juga masih belum jelas jumlah anggota ataupun peran yang diwakilinya. “Bahkan, kalau bicara pandemi pun, sudah jelas organisasi kesehatan mana dan siapa yang terlibat di dalam peran menyelesaikan pandemi (di Indonesia). Nah ini menjadi sebuah kekecewaan bagi kami. Di satu sisi, kami yang sudah siap memberikan masukan, malah tidak diperhatikan,” kata dia.