Selasa 11 Jul 2023 15:14 WIB

Mengoptimalkan Kinerja Penanganan Stunting di Indonesia

Indonesia di peringkat ke-dua di Asia Tenggara dan ke-lima di dunia kasus stunting.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Petugas kesehatan melakukan skrining  kepada seorang bayi untuk mengantisipasi masalah gangguan perkembangan (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Novrian Arbi
Petugas kesehatan melakukan skrining kepada seorang bayi untuk mengantisipasi masalah gangguan perkembangan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, posisi Indonesia dalam persoalan stunting atau kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengganggu pertumbuhan anak tergolong cukup mengkhawatirkan.

Berdasarkan data itu, Indonesia berada pada peringkat yang cukup tinggi kasus stunting yakni ke-dua di Asia Tenggara dan ke-lima di dunia. Realitanya, stunting ternyata tidak sekadar masalah yang dialami oleh kategori keluarga miskin di Indonesia, namun juga terjadi pada golongan ekonomi menengah ke atas.

Penyebabnya tidak hanya masalah asupan nutrisi, namun juga pengetahuan orang tua terhadap stunting, infeksi berulang, hingga sanitasi yang kurang baik. Ketua Departemen Farmasi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Tedy Kurniawan Bakri menjelaskan, stunting tidak boleh dipandang atau dianggap remeh oleh siapa pun, negara mana pun, apalagi Indonesia.

Akibat dari stunting bukan hanya mengganggu pertumbuhan fisik, tetapi ikut berpengaruh ke perkembangan intelejensia anak-anak bangsa. "Seriusnya dampak stunting untuk masa depan generasi Indonesia juga terlihat dalam pernyataan Presiden Jokowi pada Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Banggakencana) dan Percepatan Penurunan Stunting Tahun 2023.

"Di mana beliau menyatakan bahwa problematika stunting pada tahun 2024 harus turun menjadi 14 persen," ujar Tedy dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (11/7/2023). Tedy menjelaskan, kinerja pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan masalah stunting tergolong memuaskan.

Hal itu merujuk data Kemenkes pada 2014 angka stunting mencapai 37 persen dan pada 2022 menurun menjadi 21,6 persen. Menurut dia, arahan Presiden Jokowi tersebut dipahami dan dijalankan secara baik oleh Kemenko PMK dengan dibentuknya Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) mulai dari tingkat provinsi hingga ke tingkat desa.

"Pembentukan TPPS dan TPK ini layak dinilai sebagai langkah tepat Kemenko PMK yang dipimpin oleh Muhadjir Effendy dalam mengintegrasikan penanganan stunting secara terarah, dari mulai tingkat pusat hingga daerah. Rangkaian kerja penanganan stunting terlihat searah dan mencapai hasil yang cukup selaras antara keinginan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," kata ketua PD Ikatan Apoteker Indonesia Aceh tersebut.

Tedy menyarankan perlu intervensi secara koordinatif oleh Kemenko PMK agar tercipta kesatuan cara kerja serta pengawasan sehingga tidak ada pihak-pihak yang menomorduakan penanganan stunting.

"Termasuk dalam konteks ini menyangkut anggaran pendanaan penanganan stunting yang harus tepat sasaran penggunannya. Selain ini perlu adanya keterlibatan lintas sektor diantaranya yang paling terkait adalah sektor pendidikan, dengan berbagai kolaborasi riset, pengabdian dan edukasi yang tepat sehingga permasalahan yang kompleks terkait stunting dapat segera terselesaikan," ucap Tedy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement