Persoalan lain terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mana masih diterapkan Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD). Menurut Rizal, kebijakan ini adalah bukti bahwa cara-cara lama masih bersemayam di otak para pemangku kepentingan sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak konsisten. "Selain inovasi, alasan yang diungkapkan adalah pemerataan. Tetapi pemerataan kok merangking?" tanyanya.
Di sini, kata Rizal, juga terdapat persoalan tata kelola, di mana penilaian rapor sekolah oleh guru-guru dianggap tidak terstandarisasi. "Ini membuktikan bahwa kualitas guru di tiap-tiap sekolah tidak terstandar sama-sama baik," ujar Rizal.
Kebijakan yang termuat di dalam PPDB juga membuat keluarga miskin yang jauh dari sumber daya semakin terpinggirkan. Seharusnya, menurut Rizal, pemerintah membangun lebih banyak infrastruktur sekolah negeri, atau setidaknya terdapat terobosan di mana sekolah swasta diperlakukan seperti sekolah negeri. Dengan demikian kuota sekolah yang ada sesuai dengan jumlah lulusan.
"Jadi infrastruktur yang dibangun pemerintah seharusnya jangan cuma jalan tol dan bandara, tetapi juga sentra-sentra pendidikan. Kalau tidak seperti itu, ini membuktikan pemerintah telah abai pada kalangan masyarakat bawah," tutur pengajar di Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informatika (DTETI) UGM itu.
Menurut Rizal, persoalan-persoalan terkait tata kelola yang terjadi di PPDB kali ini harus dijadikan pekerjaan rumah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna memastikan standar kualitas mutu sama di tiap-tiap sekolah. Ia mengimbau Nadiem untuk duduk bareng dengan kementerian lain karena persoalan ini harus diselesaikan oleh lintas kementerian.
"Persoalan-persoalan tentang tata kelola data, guru honorer, intervensi pelatihan, dan lain-lain itu adalah bukti bahwa persoalan tata kelola masih jadi PR pendidikan kita," kata alumnus Monash University itu.