REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyadari bahwa masyarakat harus dijamin kehidupannya agar sejahtera lahir dan batin. Demi mewujudkan hal tersebut, tak bisa lepas dari pembangunan kesehatan masyarakat yang didasarkan pada tiga pilar utama, yakni paradigma sehat, pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional.
Hal tersebutlah yang menginisiasi DPR untuk membentuk rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan, yang menggunakan metode omnibus law. Tiga pilar utama pembangunan kesehatan, yakni paradigma sehat, pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional menjadi fondasi utama dalam penyusunannya, hingga akhirnya ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna ke-16 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 pada 14 Februari 2023.
Ketua DPR Puan Maharani dalam pandangannya mengatakan, pembahasan RUU Kesehatan merupakan upaya lembaganya dalam menjalankan fungsi legislasi. Adapun kehadiran RUU tersebut bertujuan untuk mencegah adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor kesehatan.
"Banyaknya peraturan yang tumpah tindih, diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan guna menguatkan sistem kesehatan secara integratif dan holistik dalam satu undang-undang yang komprehensif dan pembaharuan hukum di bidang kesehatan melalui metode omnibus law," ujar Puan dalam pandangannya di Rapat Paripurna ke-16 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023.
Kini, RUU Kesehatan tinggal selangkah lagi akan disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Karena, Komisi IX DPR telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU tersebut pada 19 Juni 2023.
Terdapat 12 poin utama dalam RUU yang akan menjadi payung hukum utama dalam mewujudkan transformasi kesehatan untuk masyarakat itu. Pertama adalah penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pemenuhan kesehatan. Kedua, penguatan penyelenggaraan kesehatan dengan mengedepankan hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah.
Ketiga, penguatan pelayanan kesehatan primer yang berfokus ke pasien dan meningkatkan layanan di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3T). Keempat, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kemudahan akses bagi masyarakat.
Selanjutnya, penyediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan spesialis/sub-spesialis melalui satu sistem pendidikan dengan dua mekanisme. Enam, transparansi dalam proses registrasi dan perizinan, serta perbaikan dalam perbaikan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri melalui uji kompetensi yang transparan.
Ketujuh, penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penyelenggaraan rantai pasok dari hulu ke hilir. Kedelapan, pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
Poin kesembilan, penguatan dan pengintegrasian sistem informasi kesehatan. Ke-10, penguatan kedaruratan kesehatan melalui tata kelola kewaspadaan serta penanggulangan pasca kejadian luar biasa (KLB) dan wabah.
Ke-11, penguatan pendanaan kesehatan. Terakhir, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan sistem kesehatan.
"Pembahasan RUU tentang Kesehatan telah dilakukan secara intensif, hati-hati, dan komprehensif dengan menggunakan landasan berpikir bahwa adanya urgensi penguatan sistem kesehatan nasional melalui transformasi kesehatan secara menyeluruh untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia," ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena kepada Republika.
Lanjutnya, RUU Kesehatan akan mencabut 10 undang-undang setelah ia disahkan menjadi undang-undang. Ke-10 undang-undang tersebut adalah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 terkait Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Lalu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
"Transformasi kesehatan harus didukung landasan hukumnya yang kuat dan harmoni, serta memastikan regulasi di bidang kesehatan tidak tumpang tindih," ujar Melki.
Selain meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, RUU Kesehatan juga akan menjadi payung hukum pelindung tenaga kesehatan dan tenaga medis. Jika disahkan menjadi undang-undang, RUU Kesehatan akan memperjelas fungsi dan perannya dalam bekerja untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Sekaligus melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dari segala hal yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu kepada mereka. Termasuk dalam mensejahterakan dan meningkatkan kompetensi para tenaga kesehatan dan tenaga medis.
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago menambahkan, RUU Kesehatan juga akan memudahkan masyarakat yang bercita-cita menjadi tenaga kesehatan dan tenaga medis. Sebab, pemerintah akan membuka sekolah dokter dan memperbaiki sarana-prasarana dalam rumah sakit demi pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
"Bahkan, di RUU ini pemerintah dan parlemen sepakat untuk mempermudah rakyat sekolah dokter, memperbaiki alkes (alat kesehatan) di semua rumah-rumah sakit dan memperbaiki service rumah sakit, dokter, dan BPJS untuk rakyat," ujar Irma.
Pemerintah yang diwakili Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin berterima kasih dan mengapresiasi DPR dalam penyusunan hingga selesainya pembahasan RUU Kesehatan. Selangkah lagi, Indonesia akan memiliki payung hukum nasional bagi transformasi sistem kesehatan Indonesia.
"Mudah-mudahan bisa segera kita selesaikan (disahkan menjadi undang-undang). Sehingga bisa diimplementasikan dan bisa memberikan manfaat secepat-cepatnya bagi masyarakat," ujar Budi ditemui di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta.
DPR telah mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi enam masalah utama di sektor kesehatan. Enam masalah tersebut, pertama adalah kurangnya akses masyarakat ke layanan primer kesehatan.
Kedua adalah kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit. Ia mencontohkan masih sangat kurangnya rumah sakit jantung dan stroke di banyak wilayah, yang membuat masyarakat menjadi kesulitan.
Ketiga adalah ketahanan kesehatan yang masih lemah. Keempat, pembiayaan kesehatan masih belum efektif yang terjadi akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Masalah kelima adalah masalah sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan yang masih kurang dan tidak merata. Jelasnya, masalah SDM ini menjadi salah satu alasan utama pemerintah mendukung revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus.
Terakhir adalah minimnya integrasi teknologi kesehatan dan regulasi inovasi bioteknologi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disebutnya sedang melakukan transformasi kesehatan sebagai upaya untuk dapat menjawab permasalahan layanan kesehatan di masyarakat.
Pemerintah sendiri telah melaksanakan 115 kali kegiatan partisipasi publik yang dihadiri 1.200 pemangku kepentingan dalam bentuk organisasi dan 72 ribu peserta. Pihaknya juga menerima 2.700 masukan terkait RUU Kesehatan.
Sekali lagi disampaikanya, RUU Kesehatan adalah kompas bagi transformasi sistem kesehatan Indonesia. Oleh karenanya, tanpa kerja sama dari berbagai pihak, termasuk DPR, mustahil untuk mencapai tujuan transformasi tersebut.
"Mari kita menatap ke depan dan bekerja keras ke depan dan bekerja keras bersama sekarang sesuai dengan semangat gotong royong yang merupakan budaya asli bangsa kita. Salus populi suprema lex esto, keselamatan dan kesehatan rakyat merupakan hukum tertinggi," ujar Budi.