REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kaisar Jepang, Hironomiya Naruhito disuguhi dengan berbagai makanan tradisional saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta, Rabu (21/6/2023). Seperti setup jambu, sop ayam galantin, sate ayam jeruk nipis, udang bakar madu, dan es teler cake.
Kedatangan Naruhito tersebut disambut Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, dan keluarganya. Kedatangan Kaisar Jepang tersebut di Keraton Yogyakarta pukul 18.00 WIB hingga 19.50 WIB.
Kaisar Naruhito bersantap malam di Bangsal Manis Keraton Yogyakarta bersama dengan Sultan didampingi GKR Hemas dan keluarga. Sebelum menyantap hidangan, pihak Keraton Yogyakarta juga memamerkan manuskrip bertajuk Serat Baratayuda yang dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII-VIII.
Serat ini bercerita tentang perang saudara Pandawa dan Kurawa, karena Kasultanan Yogyakarta bersendikan Islam, maka Pandawa melambangkan prinsip keislaman (Rukun Islam), Kurawa melambangkan 100 dosa yang harus dilawan manusia. Dijelaskan, pada akhir peperangan Pandawa menang meski banyak korban jiwa.
Gambar pada manuskrip tersebut sama dengan tokoh yang ada dalam wayang kulit, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pembuatannya. Selain itu, juga diperlukan konsentrasi dan keahlian dalam tata sungging wayang.
Dalam lawatannya di Keraton Yogyakarta, Kaisar Naruhito juga melihat display pertunjukan wayang kulit persembahan Kawedanan Kridhamardawa di Tratag Bangsal Kencana sisi selatan. Adapun pementasan Beksan Lawung Jajar di Tratag Bangsal Kencana juga menjadi sajian dalam lawatan Kaisar Jepang.
"Tarian di Keraton itu ada tingkatan-tingkatannya. Selain Bedhaya Beksan Lawung ini termasuk yang memiliki strata tertinggi. Beksan ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono I ini adalah salah satu tarian tertua yang dimiliki Keraton Yogyakarta," kata Penghageng Kawedanan Kridhamardawa KPH Notonegoro.
"Oleh karena itu, beksan ini kerap ditampilkan saat Keraton Yogyakarta menerima kepala-kepala negara sahabat, seperti halnya Kaisar Jepang," tutur Notonegoro menambahkan.
Beksan Lawung Ageng tersebut diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) yang menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak. Tarian ini menggambarkan suasana berlatih perang dan adu ketangkasan dalam bermain tombak.
Gerakan-gerakan dalam tarian ini mengandung unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin. Dialog yang digunakan dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Dialog tersebut umumnya adalah perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.
Seperti tari gaya Yogyakarta lainnya, Beksan Lawung Ageng juga mengandung falsafah hidup. Melalui tarian ini Sri Sultan Hamengku Buwono I menanamkan nilai-nilai keberanian serta ketangkasan seorang prajurit keraton. Selama lebih dari dua abad, tari ini telah menjadi sarana pembentukan karakter jiwa seorang ksatria melalui kedisiplinan berolah fisik dan berolah batin.