REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pengurus Partai Demokrat Papua, Yohana Delaflata, mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (12/6/2023). Dia seharusnya diperiksa sebagai saksi dalam dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat bupati nonaktif Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak.
"Telah dipanggil secara sah menurut hukum, tapi saksi tidak hadir tanpa konfirmasi," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/6/2023).
KPK pun mengingatkan Yohana agar memenuhi panggilan berikutnya. Sebab, tim penyidik membutuhkan keterangannya untuk mengusut kasus ini.
"Kami ingatkan agar saksi hadir pada pemanggilan berikutnya karena keterangan saksi dibutuhkan untuk dikonfirmasi atas dugaan aliran uang tersangka RHP," ujar Ali.
KPK telah menetapkan Ricky Ham Pagawak (RHP) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Mamberamo Tengah. Setelah melakukan pengembangan kasus, KPK kemudian menetapkan kembali Ricky Ham Pagawak sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dia diduga menerima uang haram mencapai Rp 200 miliar.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Ricky Ham Pagawak sempat menghilang dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK sejak 15 Juli 2022. Ricky Ham Pagawak sempat melarikan diri ke Papua Nugini selama tujuh bulan.
Pelarian Ricky Ham berakhir setelah penyidik KPK mendeteksi keberadaannya di Indonesia pada awal Februari 2023. Hingga akhirnya ditangkap di Abepura pada 19 Februari 2023.
Selain Ricky Ham, KPK juga menetapkan tiga tersangka lain dari pihak swasta selaku pemberi suap. Yakni Direktur Utama PT Bina Karya Raya (BKR) Simon Pampang (SP), Direktur PT Bumi Abadi Perkasa (BAP) Jusieandra Pribadi Pampang (JPP), serta Direktur PT Solata Sukses Membangun (SSM) Marten Toding (MT).