Ahad 11 Jun 2023 23:51 WIB

Pengamat: Perlu Kajian Efektivitas Teknologi Sistem Kontrol Lalin di DKI

Memang harus ada bukti, karena pendanaannya dari pemerintah.

Pengendara sepeda motor berhenti saat lampu merah menyala di kawasan Pancoran, Jakarta, Jumat (21/8/2020).
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pengendara sepeda motor berhenti saat lampu merah menyala di kawasan Pancoran, Jakarta, Jumat (21/8/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi perkotaan ITS (Intelligent Transport System) Indonesia Budi Yulianto mengajak pemerintah, pakar transportasi, dan akademisi mengkaji efektivitas teknologi ATCS (Area Traffic Control System) dan AI Traffic Light untuk mengurai kemacetan di sejumlah simpang jalan DKI Jakarta.

ATCS merupakan sistem pengendalian lalu lintas berbasis teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) yang diklaim mampu mengoptimasi dan mengkoordinasi pengaturan lampu lalu lintas di setiap persimpangan.

Baca Juga

Menurut Budi, traffic signal control penting untuk mengurai kemacetan yang diakibatkan oleh antrean kendaraan di persimpangan lampu lalu lintas. Apalagi jika sudah menggunakan teknologi baru yang lebih canggih, maka perlu dilakukan proof of concept atau kajian.

"Memang harus ada bukti, karena pendanaannya dari pemerintah sehingga harusnya dapat memberikan manfaat yang baik," kata akademisi dari Universitas Negeri Sebelas Maret itu.

Saat ini, dari 321 simpang yang ada di DKI Jakarta, terdapat 162 simpang yang menggunakan sistem ATCS generasi sebelumnya dan setidaknya 20 simpang dengan teknologi AI Traffic Light. Beberapa simpang yang dipilih merupakan titik-titik kemacetan panjang karena kepadatan antrean lampu lalu lintas, antara lain di simpang Gunung Sahari–Martadinata, Gunung Sahari–Underpass Angkasa, Simpang Hayam Wuruk/Gajah Mada–Sawah Besar dan simpang Harmoni.

Di sisi lain, teknologi AI Traffic Light pada sistem ATCS yang diterapkan mulai Februari tahun ini belum terlihat efektif untuk mengurai dan menurunkan kemacetan di DKI Jakarta. Menurut Budi, di Jakarta, dalam pengaturan lalu lintas harusnya sudah berorientasi dengan demand responsive. Maksudnya, sistem traffic signal harus responsif terhadap kondisi lalu lintas yang ada dan terintegrasi ke semua simpang di sekitar.

"Teknologi AI yang diklaim ini pun perlu dijelaskan. Teknologi AI apa yang dipakai dan menggunakan logika apa, sehingga para akademisi dan pelaku transportasi memahami," ujar Budi.

Budi melanjutkan, Indonesia menggunakan beberapa konsep sistem lampu lalu lintas. Seperti, fixed time traffic signal atau lampu lalu lintas yang pengoperasiaannya menggunakan waktu yang tepat dan tidak mengalami perubahan di setiap ruas jalan.

Kedua adalah vehicle activated control, yaitu pengaturan traffic light berdasarkan kondisi lalu lintas. Namun tidak semua konsep tersebut sesuai dengan karakter lalu lintas di Indonesia.

"Contohnya sistem ethics balance dari Jerman yang pernah diterapkan di salah satu kota di Indonesia. Sistem ini tidak berhasil dibuktikan dari derajat kejenuhan lalu lintas di atas 0,7," kata dia.

Budi menambahkan, Jerman menggunakan jalan satu jalur tanpa sepeda motor yang berbeda dengan Indonesia. Karena itu, sistem dari luar negeri belum tentu bisa digunakan di Indonesia tanpa melalui kajian yang komprehensif dan bisa dibuktikan.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement