REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan di industri distribusi film daring semakin ketat. Ada banyak platform streaming dan situs unduhan yang bersaing untuk menarik pengguna, yang membuat sulit bagi produsen untuk menemukan platform yang paling efektif untuk mendistribusikan film mereka. Untuk itu, diperlukan kekreativitasan dalam pendistribusian film.
“Produsen perlu mempertimbangkan strategi distribusi yang berbeda untuk mencapai khalayak yang lebih luas dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi,” ujar Dekan Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif Universitas Budi Luhur, Rocky Prasetyo Jati, dalam siaran pers, Rabu (7/6/2023).
Dia menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan karena pendistribusian film pada era digital sudah membuka peluang besar bagi pembuat film dan produsen untuk menjangkau khalayak global dengan cepat dan efisien. Kehadiran digitalisasi, kata dia, menciptakan peluang untuk menjangkau audiens yang lebih luas melalui platform digital.
“Dengan kesiapan dan pemahaman digitalisasi tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi produser film dengan didukung kejelian dalam memilih platform distribusi film agar sesuai dengan target market film tersebut,” kata Rocky.
Salah satu peluang besar yang ditawarkan oleh distribusi film pada era digital menurut Rocky adalah kemampuan untuk menjangkau khalayak global dengan cepat dan efisien. Dalam era itu, film dapat dengan mudah didistribusikan ke seluruh dunia melalui internet, yang memungkinkan produsen untuk menjangkau penonton di negara-negara yang sebelumnya sulit diakses.
Semua itu dia sampaikan dalam seminar Master Class Distribusi Film di Era Digital: ‘Menjelajahi Peluang dan Tantangan dalam Menghadapi Perubahan Industri’ di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (3/6/2023) lalu. Seminar tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan STMM-Fest yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta.
Pembicara lain, Presiden Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Budi Irawanto, menambahkan, keberadaan pembajakan film akan terus menjadi isu penting dalam industri film. Hal tersebut terjadi lantaran ini diakibatkan ketika akses publik penonton juga tidak begitu dibuka.
Namun, kata dia, sebagai produsen film, tentu ini bukan menjadi alasan bagi generasi muda untuk terus mengembangkan kreativitas dalam produksi film. Selain persaingan semakin ketat, pelaku industri film juga harus lebih kreatif. Permasalahan hak cipta pun makin kompleks.
“Tantangan yang perlu dihadapi dalam menghadapi perubahan itu, film dapat dengan mudah didistribusikan ke seluruh dunia melalui internet, yang memungkinkan produsen untuk menjangkau penonton di negara-negara yang sebelumnya sulit diakses,” jelas dia.
Adanya platform seperti Netflix, Amazon Prime Video, AppleTV dan Disney+ telah membuka peluang besar bagi pembuat film dan produsen untuk menjangkau khalayak global. Untuk itu, produsen perlu melindungi hak cipta mereka dengan cara yang efektif dan menemukan cara untuk menghasilkan pendapatan dari distribusi film online.
“Dalam kondisi demikian, produsen perlu mencari cara untuk melindungi hak cipta mereka. Termasuk mempertimbangkan strategi distribusi yang berbeda, dan menemukan cara untuk menghasilkan pendapatan dari distribusi film online,” kata dia.
Di sisi lain, dalam era informasi digital saat ini, mahasiswa yang memiliki minat dalam industri film perlu terus mampu beradaptasi dengan teknologi terbaru agar selalu siap kompetitif. Digitalisasi telah membawa tantangan untuk hiburan yang difilmkan sehingga perlu kesiapan mahasiswa memahami keberadaan teknologi digital.
Ia menambahkan, saat ini distribusi film telah mengalami perubahan besar-besaran sejak dimulainya era digital. Dalam era digital ini, film dapat didistribusikan melalui platform online, seperti layanan streaming dan situs unduhan. Kondisi tersebut membuka banyak peluang bagi pembuat film dan produsen untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.