Senin 05 Jun 2023 14:41 WIB

IPHI yang Disahkan Kemenkumham Dilaporkan ke Polda Metro Jaya

Muktamar IPHI di Surabaya dihadiri pejabat negara, tapi hasilnya justru tak diakui.

Logo Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). IPHI resmi mendapatkan hak eksklusif dari negara sebagai merk terdaftar dan tercatat pada Direktorat Jendral kekayaan intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Foto: Istimewa
Logo Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). IPHI resmi mendapatkan hak eksklusif dari negara sebagai merk terdaftar dan tercatat pada Direktorat Jendral kekayaan intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Kepengurusan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang belum lama ini disahkan oleh Kemenkumham diperkarakan oleh Ketua Departemen Hukum PP IPHI Dr. KH. Ustadz Buchory Muslim. Dia membuat laporan perkara yang mempermasalahkan kepengurusan IPHI yang sudah disahkan Kemenkumham tersebut ke Polda Metro Jaya, pekan lalu.

Buchory menyayangkan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) yang mengesahkan kepengurusan IPHI pimpinan Dr.Ir. H. Erman Soeparno dan Ir. H. Bambang Irianto. Padahal kepengurusan IPHI versi Erman hanya disusun berdasarkan pertemuan yang diklaim sebagai “Muktamar” Jakarta pada 11 Juni 2021 dan hanya dihadiri segelintir pengurus tanpa kuorum di Hotel Sahid Jakarta. Lalu dimintakan pengesahan secara elektronik ke Kemenkumham dengan data dan akta yang mengandung kepalsuan. Akta notaris yang berisi kepalsuan itu bernomor 3 tanggal 14 Juni 2021 yang dibuat di hadapan H. Zafrullah Hidayat, SH, M.Kn.

Baca Juga

“Oleh karena itu, masalah ini kami laporkan ke Polda Metro Jaya,” kata Buchory dalam keterangannya pada Senin (5/6/2023)

Laporan tindak pidana ke Polda Metro Jaya itu dilayangkan Rabu (31 Mei 2023), oleh pengacara PP IPHI Andris, SH.

 

Pengurus Pusat IPHI melaporkan Erman Soparno, dkk ke Polda Metro Jaya terkait dugaan tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266, yakni menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akta autentik, akta notaris No. 3, tanggal 14 Juni 2021 yang dibuat di hadapan H. Zafrullah Hidayat, S.H., M.Kn.

Tanpa verifikasi

Sistem elektronik (Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Ditjen AHU), mengesahkan kepengurusan IPHI tanpa adanya verifikasi akta yang didaftarkan. Dirjen AHU kemudian mengesahkan Kepengurusan IPHI versi Erman Soeparno dengan dengan No. AHU.0000881.AH.02.08 Tahun 2021.

Akibatnya Muktamar VII IPHI Surabaya yang berhasil memilih secara aklamasi H. Ismed Hasan Putro ketika kepengurusannya didaftarkan secara elektronik sudah terkunci. Padahal Muktamar Surabaya dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia dan diikuti oleh 28 Perwakilan Pengurus Wilayah dan 365 Pengurus Daerah. 

Selain itu, dalam muktamar juga disampaikan sambutan oleh menteri koordinator Bidang Pengembangan Manusia dan Kebudayaan dan Gubenur Provinsi Jawa Timur serta pengarahan dari menteri koodinator bidang ekonomi, dan menteri agama.

Dalam laporan dugaan tindak pidana pemalsuan, Buchory melalui kuasa hukumnya Andris, SH menyebut Mantan Menteri Tenaga Kerja (2005-2009) Erman Soeparno dkk diduga melakukan tindak pidana pemalsuan atau menyuruh melakukan pemalsuan atau memasukkan keterangan palsu dalam akta notaris terkait kepengurusan IPHI versinya. 

Menurut Ustaz Buchory Muslim, pelaporan ini baru dilakukan sekarang karena memberi kesempatan kepada Erman Soeparno dan Bambang Irianto untuk bertobat atas tindakannya yang berusaha membegal IPHI, tapi belakangan ini makin keterlaluan. 

Menurut Buchory Muslim, untuk menjaga muruah Lembaga Kepresidenan dan hak konstitusional, Pengurus IPHI telah melakukan beberapa kali pertemuan klarifikasi dengan Dirjen AHU dan menyampaikan surat kepada menteri hukum dan hak asasi manusia memohon: (1) pembatalan dan pencabutan Surat No. AHU.0000881.AH.02.08 Tahun 2021, tanggal 15 Juni 2021, dan (2) menyetujui dan mengesahkan perubahan AD IPHI dan Kepengurusan IPHI 2021-2026 yang sah hasil Muktamar VII IPHI, Surabaya. Namun, hingga saat ini tidak mendapatkan tanggapan apa pun, sehingga terasa mengabaikan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Sesuai asas hukum contrarius actus adalah asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Dalam hal ini, Dirjen AHU berwenang dan berkewajiban untuk membatalkan dan mencabut Surat No. AHU.0000881.AH.02.08 Tahun 2021, tanggal 15 Juni 2021, setelah mengetahui bahwa Keputusan TUN yang diterbitkan berdasarkan keterangan palsu dalam akta autentik. Namun, tidak dilakukan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement