REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Kini, masa jabatan pimpinan KPK yang harusnya berakhir pada akhir 2023 menjadi berhenti pada akhir 2024.
Arsul pun mempertanyakan kewenangan MK dalam memutuskan perpanjangan masa jabatan tersebut. Politikus PPP itu menyebut, putusan yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK melampaui kewenangan MK.
Apalagi objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
"Itu kan agak dalam tanda kutip penghinaan terhadap DPR dan presiden. Kan pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2023).
Arsul juga menilai, MK menunjukkan inkonsistensi usai memutuskan untuk menjadikan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Sebab, sebelumnya, juga ada gugatan terhadap Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Di pasal tersebut mengatur, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.
Namun, MK menolak semua gugatan terhadap pasal tersebut. Dalam pertimbangannya, menurut Arsul, MK tak menyinggung soal ketidakadilan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.
"Nah tiba-tiba di sini di dalam pertimbangan putusan itu, bicara soal keadilan, soal keadilan terkait masa jabatan. Empat tahun itu dianggap, satu, bertentangan dengan prinsip keadilan, dibandingkan dengan lembaga negara lain yang constitutional important," ujar Arsul.
"Tapi ketika bicara tentang dirinya sendiri, MK mengatakan itu tidak masalah. Sehingga uji materinya ditolak, nah ini menimbulkan pertanyaan, apakah sebagian hakim kita masih negarawan atau sudah sama seperti politisi kami yang ada di DPR ini, bisa berubah-ubah," ucap Arsul menambahkan.
Dia menyinggung, apakah keputusan tersebut dikarenakan adanya kepentingan politik atau kelompok tertentu. Pasalnya, MK tak pernah menyinggung ihwal keadilan tersebut di gugatan-gugatan lain yang serupa.
"Karena ada kepentingan politik, ada kepentingan katakanlah kelompok, ada kepentingan pribadi ya, maka putusannya kemudian standarnya berbeda. Ini yang menjadi concern, kenapa menjadi concern? karena MK itu berbeda dengan lembaga negara yang lain," ujar wakil ketua MPR itu.