REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menilai, membingungkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Sebab, mengubah masa jabatan pimpinan sebuah lembaga negara seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah.
Sebelum adanya putusan MK tersebut, masa jabatan pimpinan KPK diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
"Cukup surprise putusan MK, butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU," ujar Didik saat dihubungi, Jumat (26/5/2023).
"Apakah implikasi putusan tersebut ke depan terhadap berbagai pengaturan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki pembentuk UU yang mengatur hal serupa, jika dihadapkan kepada kewenangan MK sebagai final interpretator UUD 1945?" kata Didik.
Putusan yang memperpanjang masa jabat pimpinan KPK dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi, objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
"Pembentuk undang-undanglah yang diberikan hak dan kebebasan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya," ujar Didik.
Dia menjelaskan, suatu kebijakan pembentukan hukum dapat dikatakan bersifat terbuka manakala Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang.
Namun, jika ratio decidendi atau alasan putusan MK ini dititikberatkan kepada alasan keadilan, ia mempertanyakan putusan MK lain yang serupa. Salah satunya adalah putusan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang justru tak menggambarkan keadilan.
"Saya paham, MK sebagai the guardian of constitution diartikan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi. Sedangkan, MK sebagai the final interpreter of constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, kecuali MK," ujar Didik.
"Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh MK, harusnya MK tidak boleh bertindak sebagai tirani justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. MK harus menjadi constitutional court dan bukan interest court atau bahkan political court," kata politikus Partai Demokrat itu.