REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat pimpinan pada April lalu yang mengagendakan sejumlah hal sampai rapat paripurna pekan depan. Sehingga, surat presiden (surpres) terkait rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana belum dapat dibacakan.
"Jadi begini, pada saat sekarang ini DPR sedang fokus untuk pembahasan APBN. Nah, agenda-agenda yang kemudian dilakukan di paripurna sampai dengan pekan depan itu adalah agenda yang sudah ditetapkan dari bulan April. Nah, ini yang kita ikuti," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/5/2023).
"Dan setelah ini kemudian baru masuk ke mekanisme rapim dan bamus, seperti biasa membahas surat masuk dan lain-lain termasuk soal pembahasan surat masuk dari (RUU) Perampasan Aset," sambungnya.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menyebut RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan hal yang perlu segera dibahas dan disahkan. Beleid tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Pemerintah sendiri melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat presiden (Surpres) tentang RUU Perampasan Aset pada 4 Mei lalu. Saat ini, draf RUU tersebut akan dibawa ke badan musyawarah (Bamus).
"Pemberantasan tindak pidana ekonomi termasuk korupsi, narkoba, perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya tidak sepenuhnya utuh keberhasilannya. Pencegahan dan penindakan saja masih belum menunjukkan efek jera yang signifikan dan memadai," ujar Didik lewat keterangannya, Selasa (23/6/2023).
Idealnya, perampasan aset hasil tindak pidana bisa menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku dalam kejahatan ekonomi. Mengingat tidak sedikit, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman.
Ia memberi contoh saat aparat penegak hukum membongkar tindak pidana pencucian uang. Dalam praktiknya, pemerintah masih terkendala kurang progresifnya peraturan perundangan-undangan terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana.
"Recovery asset kerugian negara ataupun kerugian sosial-ekonomi dari sejumlah kejahatan ekonomi masih belum optimal dan masih belum bisa membantu pengembalian keuangan negara secara utuh," ujar Didik.
DPR disebut mendukung perampasan aset milik pelaku tindak kejahatan, khususnya bagi pelaku yang sengaja menyembunyikan uang hasil kejahatannya. Apalagi, kejahatan ekonomi selalu berkembang seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi.
"Kejahatan yang dilakukan melalui berbagai cara financial engineering dan legal engineering dengan tujuan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan yang dilakukan secara konvensional," ujar Didik.