REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan 15 bentuk penyalahgunaan anak dalam kegiatan Pemilu. Hal ini didasari hasil pengawasan penyalahgunaan anak dalam politik sejak tahun 2014 hingga 2019.
Pertama, memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah agar bisa terdaftar sebagai pemilih serta daftar pemilih tetap. Kedua, menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, atau tempat pendidikan anak untuk kegiatan kampanye. Ketiga, memobilisasi massa anak oleh partai politik atau calon kepala daerah.
"Keempat, menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau caleg tertentu. Kelima, menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik," kata Ketua KPAI Ai Maryati dalam keterangannya, Selasa (23/5/2023).
Keenam, Ai menyebut menampilkan anak di atas panggung kampanye parpol dalam bentuk hiburan. Selanjutnya, menggunakan anak untuk memakai dan memasang atribut-atribut partai politik, menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktek politik uang oleh parpol atau calon kepala daerah. Bahkan KPAI menemukan penyalahgunaan mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain.
"Ke-10, memaksa, membujuk atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara," ujar Ai.
Berikutnya, Ai memaparkan larangan membawa bayi atau anak yang berusia di bawah 7 tahun ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak. Kemudian, dilarang pula melakukan tindakan kekerasan atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara (seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat).
Ke-13 yaitu melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya.
"Ke-14, memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon kepala daerah atau parpol tertentu. Terakhir, melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara," ucap Ai.
Oleh sebab itu, untuk memastikan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 yang bebas dari penyalahgunaan dan eksploitasi anak, maka KPAI dan Bawaslu RI menekan kerjasama (MoU) untuk melanjutkan kolaborasi sekaligus pengawasan intensif.
"Pengawasan (bersama Bawaslu) atas kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anak dan berbagai bentuk diskriminasi serta kekerasan lainnya dalam setiap tahapan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024," ucap Ai.