Senin 01 May 2023 18:57 WIB

'Bola Panas' Demokrat Vs Moeldoko Saat Ini di Tangan MA

Moeldoko semestinya tidak mempertontonkan keserakahan politik kepada masyarakat.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Kepala Staf Kepresidenan Indonesia Moeldoko.
Foto: Antara
Kepala Staf Kepresidenan Indonesia Moeldoko.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya kubu Moeldoko yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait perebutan kursi ketua umum Partai Demokrat, saat ini, sedang bergulir. Meskipun begitu, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meyakini, pihaknya yang akan memenangkan semua gugatan tersebut di MA.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad mengatakan, karena itu penentuan kemelut tersebut saat ini berada di tangan Mahkamah Agung (MA).

"Bola panas saat ini ada di MA yang akan memutuskan PK Moeldoko ss dengan mengabulkan/memenangkan atau mematahkan PK tersebut," ujar Andriadi dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Senin (1/5/2023).

Andriadi mengatakan, jika MK memenangkan PK tersebut, Partai Demokrat nantinya akan diambil alih oleh kepemimpinan Moeldoko. Putusan ini nantinya dengan sendirinya dapat membuat Demokrat menarik dukungan kepada Anies Baswedan sebagai capres koalisi perubahan.

Namun sebaliknya, jika MA menolak PK tersebut, Partai Demokrat akan tetap di bawah komando AHY dan akan tetap bersama koalisi perubahan.

"Jika MA memenangkan Moeldoko cs, skenario menggagalkan dan menghancurkan koalisi perubahan berhasil. Akan tetapi, kita berharap MA menolak PK Moeldoko cs dan memenangkan kepemimpinan sah Partai Demokrat di bawah komando AHY," ujarnya.

"Kita tunggu saja bagaimana dinamika politik selanjutnya," katanya menambahkan.

Direktur Eksekutif Nusantara Institute Political Communication Studies and Research Centre (PolCom SRC) ini menilai, pengajuan PK yang dilakukan Moeldoko cs demi merebut pengurus sah partai Demokrat adalah tindakan amoral dalam politik. 

Dia mengatakan, Moeldoko yang saat ini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) semestinya tidak mempertontonkan keserakahan politik kepada masyarakat dengan cara memperebutkan kepemimpinan sah partai Demokrat.

"Dalam etika politik lebih terhormat Moeldoko cs mendirikan parpol sendiri dan membesarkannya," ujarnya.

Andriadi pun mencontohkan para elit politik yang memilih mendirikan parpol sendiri alih-alih merebut partai politik yang sudah ada. Di antaranya; Wiranto dengan Partai Hanura, Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra, Surya Paloh dengan Partai Nasdem, Harry Tanoesoedibjo dengan Perindo, Anis Matta mendirikan Partai Gelora, Iqbal Said dengan partai Buruh dan lainnya.

"Tindakan KSP Moeldoko seolah sedang melakonkan paket 'pesanan politik' untuk menyandera dan menghancurkan partai Demokrat," ujarnya.

"KSP Moeldoko sepertinya memiliki dendam politik secara pribadi terhadap SBY yang telah melantiknya sebagai panglima TNI tahun 2013," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement