Jumat 28 Apr 2023 09:18 WIB

Pemerintah Diimbau Berhati-hati Kerja Sama Eksploitasi Tambang dengan Asing

Eksploitasi tambang harus menjaga kelestarian lingkungan.

Ilustrasi eksploitasi tambang tanah jarang.
Foto: Antara/Umarul Faruq
Ilustrasi eksploitasi tambang tanah jarang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia diimbau berhati-hati melakukan kerja sama eksploitasi tambang dengan pihak asing. Sebabnya, eksploitasi tersebut rentan mengakibatkan kerusakan lingkungan sehingga mengakibatkan keberlangsungan ekosistem terganggu. 

Imbauan itu disampaikan Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS). Pertimbangannya adalah eksploitasi tambang tanah jarang di Kachin Myanmar yang diprotes ribuan warga di sana karena merusak lingkungan. 

Baca Juga

Peniti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan kerusakan lingkungan Myanmar adalah contoh nyata dampak eksploitasi tambang yang dilakukan pemerintah setempat dengan pihak asing Cina.

“Bukan hanya penduduk, pemimpin-pemimpin agama di Myanmar juga menentang penambangan unsur-unsur tanah jarang yang dieksploitasi Beijing,” kata AB Solissa kepada wartawan, Kamis, (27/4/2023).

Dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Uskup Raymond Sumlut Gam dan empat pemimpin keuskupan lainnya, pada 4 Maret lalu, lanjut AB Solissa, mereka mengatakan mineral tanah jarang adalah anugerah dari Tuhan sehingga masyarakat segogianya memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.

Logam tanah jarang merupakan mineral yang bersifat magnetik dan konduktif, banyak digunakan di perangkat elektronik seperti ponsel, tablet, speaker, dan lain-lain. Selain itu, logam tanah jarang juga dimanfaatkan untuk sektor lainnya, mulai dari bidang kesehatan, otomotif, penerbangan, hingga industri pertahanan.

Tanah jarang mengandung unsur-unsur yang banyak digunakan dalam produk seperti komponen komputer, kendaraan listrik, sel surya, dan gudang persenjataan modern.  

 

Para pemimpin gereja juga menuliskan rasa keprihatinan dengan dampak degradasi lingkungan, mata pencaharian masyarakat lokal dan kesejahteraan hewan akibat ekstraksi tanah jarang.

“Disinyalir eksploitasi yang diduga dilakukan Beijing karena permintaan mineral tanah jarang dapat melonjak tiga hingga tujuh kali lebih tinggi pada tahun 2040, untuk mengejar tenggat waktu kebijakan untuk memperlambat perubahan iklim,” ungkap AB Solissa.

Eksploitasi tambang merusak lingkungan

Perusahaan Cina yang menambang mineral tanah jarang di Negara Bagian Kachin Myanmar, akhirnya berjanji akan menghentikan kegiatan mereka setelah lebih dari 1.000 penduduk lokal memprotes eksplorasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan tersebut di wilayah mereka.

Penduduk yang berunjuk rasa berasal dari sedikitnya 10 desa di wilayah yang dikendalikan oleh Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO), salah satu kelompok etnis paling kuat di Myanmar dan kelompok bersenjata Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA).

Para pengunjuk rasa meminta perusahaan Cina dan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), sayap bersenjata dari Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO), yang telah berjuang untuk penentuan nasib sendiri dan otonomi selama beberapa dekade, untuk menghentikan penambangan, dengan alasan dampak buruk terhadap lingkungan, satwa liar dan masyarakat lokal.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media asing, warga yang menggelar  unjuk rasa menjelaskan protes sebenarnya telah dimulai pada bulan Desember 2022 lalu, setelah KIO memberikan izin kepada perusahaan Cina untuk menambang di Negara Bagian Kachin di daerah dekat perbatasan dengan Provinsi Yunnan Cina.

Kaya sumber daya alam

Negara Bagian Kachin sendiri memiliki populasi Kristen yang besar, kaya akan sumber daya alam seperti emas, batu giok, amber, dan rubi, yang telah memicu konflik selama puluhan tahun antara militer dan Tentara Kemerdekaan Kachin.

Penambangan terkonsentrasi di Daerah Khusus Kachin. Proses ini berada di bawah kendali panglima perang lokal Akhung Ting Ying. Wilayah ini kaya akan keanekaragaman hayati dan rumah bagi tumbuhan dan hewan langka dan terancam punah.

Awalnya hanya ada segelintir penambangan tanah jarang di Negara Bagian Kachin tahun 2016 yang didominasi oleh perusahaan asal Beijing.

Akan tetapi menurut laporan Global Witness Report, pada Maret 2022, jumlah penambangan membengkak menjadi 2.700 dan tersebar di 300 lokasi terpisah, meliputi area seluas Singapura.

Tambang Myanmar menghasilkan jumlah terbesar keempat dari mineral ini, yaitu 12.000 metrik ton (MT) tanah jarang pada tahun 2022, menurut Investing News.

“Info yang kami dapat, sebuah komite yang mewakili penduduk desa dari distrik N Ba Pa dan Dingsing Pa yang dikuasai KIO di distrik Bamaw Negara Bagian Kachin, telah bertemu dengan Ketua Jenderal KIO N Ban La, untuk menghentikan seluruh kegiatan tambang tanah jarang,” lanjut AB Solissa.

N Ban La, yang memberikan hak penambangan kepada perusahaan Cina, berjanji tidak akan membiarkan penambangan berlanjut.

Investing News melaporkan bahwasanya Cina adalah produsen mineral tanah jarang terbesar di dunia, dengan output 210.000 MT jauh melebihi total gabungan tempat kedua Amerika Serikat (43.000 MT), tempat ketiga Australia (18.000 MT), Myanmar (12.000 MT) dan tempat kelima  Thailand (7.100 MT).

Dari data resourcetrade.eart, sebuah situs web yang berafiliasi dengan think tank Inggris Chatham House, diketahui jika sebagian besar mineral tanah jarang Myanmar diekspor ke Cina.

“Yang pasti, menurut laporan dan penelitian Harvard International Review, hanya ada dua cara untuk menambang mineral tanah jarang dan keduanya berbahaya bagi lingkungan, mencemari air tanah dan tanah lapisan atas sekaligus menghasilkan debu beracun,” tutur AB Solissa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement