REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Viralnya komentar provokatif berisi ancaman kepada warga Muhammadiyah oleh peneliti BRIN Andi Pangerang Hasanuddin tak lepas dari unggahan Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin. Unggahan tersebut terkait perbedaan penetapan 1 Syawal.
Thomas melalui akun Facebook-nya mengunggah pernyataan tentang Muhammadiyah yang tidak taat kepada pemerintah terkait penentuan Lebaran 2023, tetapi ingin memakai lapangan untuk sholat Idul Fitri. Unggahan itu memicu perdebatan para simpatisan Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah, termasuk komentar provokasi dari Andi Pangerang Hasanuddin.
Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, Thomas adalah salah seorang yang membuat perdebatan penetapan 1 Syawal selalu panas dan keras. Sebagai salah satu tim unifikasi kalender Kementerian Agama, dia dikenal sangat keras membela metode rukyah dan mengecam metode hisab.
"Sebagai ilmuwan, Thomas sangat tidak bijak. Bahkan, pada titik tertentu, dia menggiring pada perdebatan yang menjurus pada perpecahan. Di tingkat akar rumput, hal ini sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan," ujar Saleh Daulay dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Selasa (25/4/2023),
Saleh menyebutkan, dalam konteks komentar AP Hasanuddin yang akan menghalalkan darah warga Muhammadiyah, Thomas juga terlibat. Bahkan, dalam permohonan maafnya, AP Hasanuddin jelas menyatakan komentar yang dia keluarkan tersulut emosi karena perdebatan di kalangan netizen di unggahan Thomas.
Karena itu, mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menyayangkan sikap Thomas yang merupakan ilmuwan sekaligus aparatur sipil negara (ASN) di BRIN yang tidak bijak dalam bersikap. Apalagi, membeda-bedakan kelompok tertentu.
"Dalam kaitan ini, Thomas Djamaluddin semestinya diberi sanksi. Paling tidak, dia jangan diberi tugas lagi dalam hal penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Dipindah saja. Kan masih banyak orang lain yang bisa. Mungkin lebih hebat dari dia," ujarnya.
Berdasarkan data pemberitaan di Republika.co.id, Thomas diketahui beberapa kali melempar pernyataan tentang metode wujudul hilal Muhammadiyah. Pada Juni 2013 lalu, misalnya, dalam statusnya di media sosial, Thomas Djamaluddin membuat pernyataan tentang Muhammadiyah memilih tafarruq (memisahkan diri dari umat) hanya karena membela wujudul hilal yang usang secara sains.
Menurut Thomas, wujudul hilal bukan masalah dalil, melainkan masalah sains karena rumusannya pun rumusan astronomis. Dia juga menilai para pembelanya bukan berargumentasi dengan logika sains, melainkan lebih mendasarkan pada fanatisme organisasi.
Sontak pernyataan Thomas yang kala itu sebagai peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mendapat banyak protes, terutama dari kalangan Muhammadiyah. Menurut kalangan Muhammadiyah statement itu bukan malah membuat umat semakin dewasa menyikapi perbedaan, melainkan malah membawa umat untuk ikut terprovokasi.
Ketua PP Muhammadiyah saat itu, almarhum Prof KH Yunahar Ilyas, menyebut bahasa yang dia sampaikan bukan lagi cerminan bahasa seorang saintis. Selain itu, untuk kesekian kalinya Thomas Djamaluddin menyerang Muhammadiyah karena mengumumkan awal bulan puasa dan Idul Fitri menggunakan metode wujudul hilal.
"Bukan sekali dua kali dia menyerang Muhammadiyah, jadi biarkan saja biar umat yang menilai siapa yang tafarruq (memisahkan diri dari umat) dan siapa yang berusaha memprovokasi umat," ujar Yunahar saat itu.
Selain itu, pada 20 Juli 2012, melalui tulisan di blog pribadinya https://tdjamaluddin.wordpress.com/ yang terbit pada Mei 2012 silam, Thomas menyinggung metode yang digunakan Muhammadiyah melalui wujudul hilal ini sudah usang.
Dalam blognya, Thomas menulis penggunaan wujudul hilal adalah konsep yang usang. Ini karena wujudul hilal dibangun dengan inspirasi konsep geosentrik atau konsep lama bahwa bumi sebagai pusat alam semesta yang memang mewarnai tafsir lama, termasuk konsep tujuh langit.
"Berikut ini saya kutipkan 'asal-usul' konsep wujudul hilal yang dianut Muhammadiyah yang sangat jelas terinspirasi konsep geosentrik dalam memahami QS 36:40 “tidaklah mungkin matahari mengejar bulan” dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (halaman 79-82). Inspirasi geosentrik pada kutipan itu saya tebalkan," tulis Thomas dalam blognya.
Sementara itu, terbaru, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin meminta maaf kepada pimpinan serta seluruh warga Muhammadiyah. Dalam permintaan maafnya, Thomas masih berharap perbedaan Hari Raya Idul Fitri dapat diselesaikan, tidak terus dilestarikan.
"Dengan tulus saya memohon maaf kepada pimpinan dan warga serta teman-teman Muhammadiyah. Semoga kesatuan umat bisa segera terwujud," tulis Thomas dalam unggahannya di akun media sosial Facebook, dikutip Selasa (25/4/2023).
Bersama dengan tulisan tersebut Thomas mengunggah foto berisi beberapa paragraf kalimat. Dia menuliskan, dengan tulus dia memohon maaf atas sikap kritis pada kriteria wujudul hilal yang dia anggap usang secara astronomi dan sikap ego-organisasi yang menghambat dialog menuju titik temu.
Menurut Thomas, dia tak mempunyai kebencian atau kedengkian pada organisasi Muhammadiyah yang dia sebut sebagai aset bangsa yang luar biasa. Thomas menjelaskan, niatnya hanya ingin mendorong perubahan untuk bersama-sama mewujudkan kesatuan umat secara nasional terlebih dahulu.
"Saya mengulang-ulang setiap ada perbedaan hari raya untuk mengingatkan bahwa perbedaan ini mestinya bisa diselesaikan, tidak dilestarikan," kata dia.
Pada paragraf terakhir, Thomas kembali memohon maaf kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah atas ketidaknyamanan dan kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ke belakang.
"Sekali lagi, saya mohon maaf dengan tulus kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah atas ketidaknyamanan dan kesalahpahaman yang terjadi," kata dia.