Sabtu 15 Apr 2023 09:51 WIB

Ini Tanggapan PRFN Soal Pembuangan Limbah Radioaktif Jepang ke Laut

Protes mengalir dari nelayan, negara tetangga serta aktivis antinuklir.

Sejumlah aktivis di Jepang melakukan protes terkait langkah Jepang yang memutuskan membuang limbah radioaktif lebih dari satu juta ton dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut.
Foto: EPA-EFE/JEON HEON-KYUN
Sejumlah aktivis di Jepang melakukan protes terkait langkah Jepang yang memutuskan membuang limbah radioaktif lebih dari satu juta ton dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jepang memutuskan membuang limbah radioaktif lebih dari satu juta ton dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut. Hal ini kemudian memicu protes dari beberapa pihak, termasuk nelayan, negara tetangga serta aktivis antinuklir. 

Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir (PRFN) Mohammad Dhandhang Purwadi buka suara. 

Baca Juga

"Pertama, membuangnya di mana? Kalau membuangnya di luar teritorial mereka, tentu saja mereka berlaku tidak benar. Apakah keselamatan dan keamanannya sepenuhnya dipertimbangkan?" kata dia, dilansir pada Sabtu (15/4/2023).

"Kedua, air laut dapat mengencerkan radioaktif (pengenceran). Alam ini juga memiliki radioaktivitas. Kalaupun naik jumlah pembuangan, jujurnya jumlahnya lebih dari satu juta ton itu memang sangat besar, harus sesuai dengan standar keselamatan," kata dia menambahkan.

Dhandhang mengatakan, dengan memiliki data dan kinerja, PRFN dapat mengetahui aliran dan perhitungan dari radioaktif. Peneliti dapat mengetahui dispersi radioaktivitas di alam.

Tidak hanya dampak di perairan, tetapi juga di udara. Dispersi merupakan penyebaran radioaktivitas di alam.

Pada saat kecelakaan terjadi dan menyebabkan dispersi di darat maupun udara, fasilitas untuk mencegah dampak nuklir diperhitungkan, dimodelkan dan dicek dengan pengukuran-pengukuran lapangan, sehingga modelnya terverifikasi dan benar.  

Ia meyakini bahwa model yang Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir miliki merupakan model yang kompleks dan sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Dengan upaya tersebut, baru bisa disimpulkan strategi apa yang dibutuhkan dan sesuai aturan.   

Strategi tersebut dapat berupa tindakan evakuasi personel, makhluk hidup, penduduk dan sebagainya. Badan Pengawas Tenaga Nuklir pun telah meletakkan sensor-sensornya dan alat pengukurnya pada titik-titik yang dipercaya sebagai tempat radioaktif berbahaya.   

Pengawasan di sekitar instalasi dan alat-alat pengukur nuklir juga sudah diletakkan pada titik-titik tersebut. "Untuk efek pada pengairan, paparan radiasi yang mirip dengan radioaktif pada alam tetaplah ada. Contohnya kecelakaan kapal selam, padahal radioaktivitas tidak sangat mayor atau terkena efek pengenceran." 

Menurut dia, jika paparan radiasi semakin tinggi, periset dapat menyampaikan kekhawatiran ini secara langsung pada Jepang.

Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) akan selalu mengawasi kondisi tersebut. Menurut Dhandhang, di Sulawesi, ada daerah yang memiliki radioaktif melebihi rata-rata.

Kemungkinan, di bawahnya mengandung mineral-mineral, seperti uranium, thorium dan sebagainya. Di Bangka Belitung, juga mengandung mineral seperti itu, sehingga radiasinya sudah ada.

Bahkan, ketika seseorang menggunakan ponsel, bisa terpapar radiasi dari gelombang elektromagnetik. Sama dengan radioaktif nuklir, tidak ada yang benar-benar nol. 

Dhandhang berharap untuk kondisi yang akan datang, semua institusi pengamatan, pengawasan, teknologi, dan metode-metodenya harus segera dilengkapi. Indonesia harus mandiri untuk mengadakan alat-alatnya sendiri.

Pihak internasional juga membantu negara yang ingin selamat dari nuklir.  "Jika nuklir bukan untuk maksud-maksud militer, pasti akan dibantu," ujar dia. 

Sebelumnya, Asosiasi Koperasi Perikanan Futaba Soma di Prefektur Fukushima menilai pembuangan air limbah nuklir Jepang akan menghancurkan pendapatan nelayan lokal.

"Kami sangat menentang pelepasan itu," ungkap Toshimitsu Konno, Kepala Asosiasi Koperasi Perikanan Futaba Soma di Prefektur Fukushima. 

"Mereka mengatakan semua pembangkit listrik tenaga nuklir akan membuang air olahan ke laut, tetapi jenis airnya berbeda. Kali ini air yang terkontaminasi, tetapi bukan air dari pembangkit (kondisinya) yang normal," katanya.

Koperasi tersebut terdiri dari 846 anggota dan merupakan kelompok terbesar di prefektur yang ada di bagian timur laut Jepang itu.

Operator PLTN, Tokyo Electric Power Company (TEPCO), berulang kali mengklaim bahwa air olahan tersebut diencerkan dengan standar keamanan nasional, dan tidak ada pilihan lain selain melepasnya ke laut lantaran ruang penyimpanan telah mencapai kapasitasnya.

"Saya sama sekali tidak percaya pada TEPCO, karena selama ini terlalu banyak informasi yang disembunyikan," ujar Konno, seraya menambahkan bahwa ada sejumlah preseden tentang kebocoran air yang terkontaminasi nuklir, demikian dilansir dari Antara

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement