Kamis 13 Apr 2023 16:14 WIB

Pleidoi Teddy Minahasa: Dipaksakan Jadi Tersangka

Teddy Minahasa sebelumnya dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum.

Rep: Ali Yusuf, Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Teddy Minahasa dalam persidangan kasus peredaran narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam kasus ini, Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU). (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Teddy Minahasa dalam persidangan kasus peredaran narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam kasus ini, Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus peredaran sabu sekaligus mantan Kapolda Sumatera Utara, Teddy Minahasa, mengeklaim dirinya telah dipaksakan menjadi tersangka oleh penyidik karena tak pernah diperiksa sebagai saksi. Hal itu diungkapkan oleh Teddy saat ini membacakan nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum (JPU).

"Sudah jelas bahwa prosedur penetapan seorang menjadi tersangka harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini mengesankan bahwa saya memang dibidik untuk dijatuhkan," kata Teddy di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (13/4/2023).

Baca Juga

Selain itu, dia juga menyoroti bukti yang membuat dirinya menjadi tersangka antara lain adalah isi percakapan WhatsApp dari telepon genggam milik tersangka lain. Dia merasa bukti percakapan dalam telepon genggam miliknya tidak pernah ditampilkan di dalam persidangan.

Karena penetapan tersangka tersebut, Teddy mengaku dirinya telah kehilangan karier yang cemerlang sebagai anggota Polri. Oleh karena itu, Teddy berharap majelis hakim mau mempertimbangkan fakta tersebut dan memberikan vonis yang adil.

"Menghancurkan hidup serta masa depan saya, yang tentunya berdampak terhadap keluarga besar saya. Bahkan akhirnya bertujuan untuk membinasakan saya," kata Teddy.

Sebelumnya, JPU di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat menuntut terdakwa kasus peredaran narkoba, mantan Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, dengan pidana hukuman mati. "Menjatuhkan terhadap Teddy Minahasa pidana mati," kata salah satu JPU Iwan Ginting, di PN Jakarta Barat, Kamis (30/3/2023).

Menurut JPU, para terdakwa dalam perkara ini terbukti terlibat dalam proses transaksi, penjualan hingga menikmati hasil penjualan sabu milik Teddy Minahasa.

"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan narkotika golongan satu bukan tanaman, yang beratnya lebih dari lima gram sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, sesuai dakwaan pertama kami," kata JPU Iwan.

Alasan pemberat

Menurut jaksa Wahyud, setidaknya ada delapan perbuatan yang memberatkan Teddy Minahasa. Pertama, Teddy telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis sabu dan Teddy merupakan anggota Polri dengan jabatan kapolda Sumatera Barat.

Wahyudi mengatakan, seharusnya, Teddy sebagai seorang penegak hukum dengan jabatan Kapolda menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika. Teddy justru melibatkan dirinya dan anak buahnya dengan memanfaatkan jabatannya dalam peredaran gelap narkotika. 

"Sehingga sangat kontradiksi dengan tugas dan tanggung jawab sebagai Kapolda. Terdakwa tidak mencerminkan sebagai seorang aparat penegak hukum yang baik dan mengayomi masyarakat," kata Jaksa Wahyudi saat membacakan tuntutan untuk Teddy Minahasa, Kamis (29/3/2023).

Hal ketiga yang memberatkan, Teddy telah merusak kepercayaan publik kepada institusi polri yang anggotanya kurang lebih 400 ribu personel, keempat, perbuatan Teddy telah merusak nama baik institusi polri, kelima Teddy tidak mengakui perbuatannya, keenam Teddy menyangkal dari perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan.

Alasan pemberat ketujuh, perbuatan Teddy sebagai Kapolda telah menghianati perintah Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Kedelapan, Teddy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika

"Tidak ada hal-hal yang meringankan bagi terdakwa," katanya.

Dalam surat tuntutannya, jaksa Wahyudi menyampaikan, sejak 1971 Pemerintah Indonesia telah menganggap narkotika berpotensi menjadi masalah serius. Presiden RI pada saat itu menginstruksikan Kepala BAKIN menanggulangi enam masalah nasional, satu di antaranya yaitu narkotika. 

Pada 1997 Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Kemudian pada 2009 aturan tentang Penanggulangan Narkotika pun diperbaharui dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai perubahan atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997. 

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, BNN bertugas bersama dengan Polri melawan narkotika. Penyidik dari dua lembaga tersebut bertugas untuk menyelidiki, menyidik, memeriksa, menangkap, hingga melakukan penahanan terkait penyalahgunaan serta peredaran narkotika. 

Berdasarkan data di Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri menunjukkan bahwa perkara narkotika menjadi kejahatan tertinggi kedua setelah pencurian dengan pemberatan. Narkotika, korupsi dan terorisme adalah jenis kejahatan extraordinary crime yang merupakan kejahatan terorganisir, lintas negara dan dapat menjadi ancaman serius karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. 

Narkotika tidak hanya berdampak pada Kesehatan penyalahguna. Tapi transaksi dan jaringan narkotika berkaitan dengan terorisme dan pencucian uang. Bahkan tindakan kriminal lain muncul akibat narkotika. 

Dengan demikian narkotika dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek material spiritual. Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi demikian negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot. 

"Oleh karena itu perlu tindakan yang tegas," kata jaksa Wahyudi.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement