Jumat 07 Apr 2023 20:52 WIB

KPAI Keluarkan 4 Rekomendasi Soal Kasus Gagal Ginjal

KPAI meminta Kemensos beri bantuan korban Kasus Gagal Ginjal

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi).Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan belum maksimalnya perhatian pemerintah terhadap kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). KPAI lalu mengeluarkan empat rekomendasi kepada sejumlah lembaga agar korban GGAPA bisa segera tergolong.
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsaa
Dokter merawat pasien anak penderita gagal ginjal akut. (ilustrasi).Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan belum maksimalnya perhatian pemerintah terhadap kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). KPAI lalu mengeluarkan empat rekomendasi kepada sejumlah lembaga agar korban GGAPA bisa segera tergolong.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan belum maksimalnya perhatian pemerintah terhadap kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). KPAI lalu mengeluarkan empat rekomendasi kepada sejumlah lembaga agar korban GGAPA bisa segera tergolong.

KPAI melalui surat nomor 247/9/KPAI/4/2023 per tanggal 5 April 2023 berkirim surat yang berisikan rekomendasi langkah langkah yang bisa diupayakan Menko PMK. Dalam poin pertama, KPAI meminta Kementerian Sosial RI dapat memberikan skema bantuan santunan kepada keluarga korban yang anaknya meninggal dan anaknya yang mengalami GGAPA.

"Dikarenakan sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban dari pemerintah maupun stakeholder terkait yang diberikan kepada keluarga korban," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra kepada Republika, Jumat (7/4/2023).

Kedua, KPAI merekomendasikan Kementerian Kesehatan perlu memastikan penyediaan fasilitas rujukan dan menyelenggarakan akses pengobatan yang komperhensif bagi anak dan keluarga yang menjadi korban GGAPA. Tujuannya agar setiap anak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal.

"Meliputi upaya penanganan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan," ujar Jasra.

Ketiga, KPAI memandang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) perlu melakukan koordinasi pendataan korban antara lembaga daerah dan lembaga kesehatan yang memiliki tugas pendampingan psikologis kepada keluarga korban pasca kehilangan anak akibat GGAPA. Keempat, KPAI mendorong BPJS Kesehatan membuat skema pembiayaan pengobatan lanjutan terhadap para korban GGAPA.

"Sampai saat ini masih ada pengobatan lanjutan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan dan menjadi tanggungan keluarga korban, seperti cuci darah dan pembelian obat lainnya di luar kasus GGAPA karena adanya komplikasi penyakit yang ditimbulkan," ujar Jasra.

Selain itu, Jasra menegaskan pentingnya pertanggungjawaban atas kelalaian pengawasan oleh BPOM. Sebab obat yang menyebabkan GGAPA sudah melanggar ketentuan aturan yang ada.

"Negara punya kewajiban memulihkan hak-hak korban," ucap Jasra.

Jasra juga menjelaskan KPAI melakukan serangkaian kegiatan pengawasan atas kasus GGAPA ini. KPAI sempat mempertemukan keluarga korban dengan Komisi IX DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Kesehatan, mengundang pejabat BPJS, BPOM dan beragam profesi yang dibutuhkan.

Kemudian, KPAI melakukan pertemuan 3 lembaga National Human Right Indonesia (NHRI) bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

"Serta Rapat Koordinasi bersama stakeholder terkait yang melibatkan profesi di bidang kesehatan dan perlindungan anak, yang telah melakukan langkah langkah komperhensif dalam penanganan kasus GGAPA sesuai prosedur yang berlaku," ungkap Jasra.

Sebelumnya, keluarga korban GGAPA sudah melaporkan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan industri farmasi ke Komnas HAM sejak akhir tahun lalu. Mereka mendesak supaya kasus tersebut ditetapkan menjadi KLB. 

Keluarga korban akhirnya mengajukan gugatan Class Action mewakili 25 korban ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak awal tahun ini. Penggugat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I merupakan keluarga dari pasien yang meninggal setelah mengonsumsi obat dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industry. Kelompok II adalah keluarga dari pasien pengonsumsi obat PT Afi Farma Pharmaceutical Industry yang masih dirawat. Sedangkan Kelompok III yaitu keluarga dari pasien yang meninggal tetapi obat yang diberikan berasal dari PT Universal Pharmaceutical Industry. 

Gugatan ini ditujukan kepada sebelas pihak, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Kesehatan, CV Samudera Chemical, dan turut tergugat Kemenkeu.

Tercatat, Kemenkes menyebutkan terdapat total 269 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia yang tercatat per 26 Oktober 2022. Dari total angka tersebut, sebanyak 73 kasus masih dirawat, 157 kasus meninggal dunia, dan sembuh 39 kasus.

Adapun Bareskrim telah menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu PT Afi Farma, CV Chemical Samudera, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama.

Sedangkan tersangka perorangan adalah Alvio Ignasio Gustan (AIG) selaku Direktur Utama CV APG, dan Aris Sanjaya (AS) selaku Direktur CV APG. Adapun dua tersangka lainnya yang sudah ditahan lebih dulu adalah Direktur Utama CV Samudera Chemical Endis (E) alias Pidit, Direktur CV Samudera Chemical Andri Rukmana (AR).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement