Senin 03 Apr 2023 16:33 WIB

Ramadhan, Perppu Ciptaker, dan Banalitas Demokrasi  

Ramadhan harus jadi tradisi kebangsaan restorasi solidaritas politik

Mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, Selasa (28/2/2023). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menuntut pemerintah segera mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Foto:

Oleh : A Fahrur Rozi, aktif di Distrik HTN Institute Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta  

Klientelisme bukan hal yang baru dalam realitas demokrasi kita. Ia secara sederhana adalah gambaran suatu transaksi politik yang dibangun berdasar pada kesepahaman pilihan elektoral.

Ia satu rumpun dalam spektrum yang menggmabarkan premanisme politik, money politics, patronase politik, atau politik transaksional. Klientelisme selalu melibatkan patron-klien, pertukaran yang terlembaga (quid pro quid), dan kontrak yang kontinuitas (Stokes, 2013, Hicken, 2011).

Dalam relasi struktural antara Pemerintah dan DPR, Perppu Ciptaker seolah menjadi bahan tawar dalam membangun klientelisme struktural. Koalisi partai politik dalam kompetisi demokrasi di masa lalu ternyata merupakan awal terbukanya transaksi bagi klientelisme di masa depan.

Patron (Pemerintah) dalam kuasa eksekutif telah membuka relasi klientelisme struktural dengan kuasa parlemen sebagai klien (DPR). Yang jelas terlihat dari bentuk relasi seperti ini adalah perjuangan kepentingan dengan sistem pertukaran yang kontingen. 

Kedua, secara bersamaan, kita melihat gejala otoritarianisme politik. Hal itu dihadapkan pada kondisi di mana perangkat demokrasi menjadi semakin terasing dalam gerak birokrasi Pemerintah.

Kita menyaksikan bagaimana fatwa akademik berseluncur dengan bebas mengawal gerak Perppu Ciptaker, mulai yang bentuknya masukan hingga kritikan. Tapi hal demikian tidak memberikan efek sektoral perbaikan sama sekali. 

Pemerintah tetap dengan tekadnya untuk mengesahkan pengaturan soal Ciptaker. Tekad itu mendorong mereka membuka interpretasi baru spektrum hukum ihwal syarat penerbitan Perppu hingga birokrasi pembahasan kilat peraturan kendati menabrak prosedur pembuatan dan pengundangan.

Pelbagai oposisi dan suara kontra ditekan seminimalis mungkin. Faktanya, otoritarianisme politik itu mengendap dari bagaimana pemerintah menggunakan perangkat demokrasi, termasuk hukum, secara banal dengan kehendak suka-suka.

Baca juga: Ottoman Bantu Irlandia Negeri Non-Muslim yang Dilanda Kelaparan dan Begini Balas Budinya

Tidak heran jika publik meluapkan kekecewaan luar biasa hingga memunculkan kegaduhan politik kendati di awal-awal bulan Ramadhan.

Pasalnya, atas kepentingan pembangunan, agenda hijau investasi diperjuangkan dengan cara banalisasi demokrasi. Mereka menggunakan kuasa dan perangkat politik yang ada untuk menstimulus agenda kepentingan.

Ramadhan sebagai momentum

Ramadhan harus menjadi semacam tradisi kebangsaan untuk merestorasi solidaritas politik dalam keguyuban demokrasi. Sebenarnya hal yang hilang dari diskurus bernegara saat ini adalah perbincangan publik.

Di satu sisi, Perppu Ciptaker sebanarnya merupakan pertunjukan rivalitas politik antara penguasa dan warga negaranya. Sehingga suatu kebijakan dan tindakan politik tidak pernah menemukan titik pertautan karena interpretasinya dibawa pada horison kutub yang saling bersebarangan.

 

Untuk itu, Pemerintah saat ini perlu melakukan safari politik berhadapan langsung dengan rakyat.  Dengan memanfaatkan tradisi seperti buka bersama (bukber) atau pertemuan dalam ruang-ruang majelis dapat tercipta solidaritas politik dalam pembangunan demokrasi di masa depan. Yang terpenting Pemerintah bisa mengembalikan perbincangan publik yang sempat hilang.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement