Jumat 31 Mar 2023 19:30 WIB

Jimly Pertanyakan Independensi Hakim Jika Ada Pasal Evaluasi di RUU MK

Jimly mempertanyakan independensi hakim jika ada pasal evaluasi di RUU MK.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Jimly mempertanyakan independensi hakim jika ada pasal evaluasi di RUU MK.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Jimly mempertanyakan independensi hakim jika ada pasal evaluasi di RUU MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengkritik salah satu aturan yang nantinya akan ada dalam revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Materi muatan tersebut adalah terkait evaluasi hakim.

Artinya, seorang hakim konstitusi dapat dievaluasi oleh pengusulnya, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung (MA), presiden, dan DPR. Materi muatan tersebut dinilainya dapat mengganggu independensi hakim.

Baca Juga

"Maka jangan dikaitkan dengan evaluasi, tidak ada pak di seluruh dunia. Ini akan merusak independence of judiciary," ujar Jimly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait revisi UU MK, dikutip Jumat (31/3/2023).

Jelasnya, dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA) diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim MK dengan cara memilih atau mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Itu diatur dalam Pasal 18a UU MK saat ini.

Jika pasal evaluasi itu ada, artinya hakim MK yang dipilih oleh DPR juga nantinya akan dievaluasi oleh lembaga legislatif itu sendiri. Sedangkan, hakim MK yang dipilih atau diajukan oleh MA akan dievaluasi oleh lembaga yang juga merupakan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu.

Padahal tujuan awal diaturnya ketiga lembaga tersebut mengusulkan tiga orang hakim adalah untuk menjaga independensi MK. Ia mencontohkan jika adanya pemakzulan atau impeachment terhadap presiden, MK akan netral karena masih ada enam hakim lainnya yang tak diusulkan oleh presiden.

"Jadi saudara sekalian, saya kembali ke evaluasi itu, karena kesalahpahaman kita mengenai kata dari dan kata oleh, itulah jadi sumber masalah, gitu loh. Jadi padahal kenapa kita bikin tiga, tiga, tiga, maksudnya supaya MK itu independen," ujar Jimly.

Di samping itu, ia mengusulkan adanya aturan yang lebih detail terkait prosedur seleksi, pencalonan, dan pemilihan hakim MK di MA, presiden, dan DPR. Tujuannya, untuk menguatkan prinsip objektif, akuntabel, partisipatif, dan transparan dalam prosesnya.

"Jadi saran saya, sistem rekrutmen ini diperbaiki dengan mengatur ulang, baik di tatib DPR, maupun harus terbit Perma (peraturan MA) dan Perpres (peraturan presiden). Kalau bisa tolong DPR, terutama Komisi III mengingatkan kepada pemerintah supaya diterbitkan perpres," ujar anggota DPD itu.

Diketahui, Komisi III DPR mengusulkan revisi UU MK yang sudah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali. Revisi terakhir terjadi pada 2020 dan sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Selasa (1/9/2020).

Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mewakili komisi hukum tersebut menjelaskan, ada empat alasan pihaknya kembali mengusulkan revisi UU MK. Pertama adalah persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi.

"(Dua) evaluasi hakim konstitusi. Tiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi. Empat, penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman dalam rapat kerja dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Rabu (15/2).

Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU MK diubah sebanyak tiga kali. Usulan terbaru Komisi III akan menjadi revisi keempat, karena UU MK saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.

"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," ujar Habiburokhman.

"Serta menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," sambung politikus Partai Gerindra itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement