REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritisi kinerja Polri dalam mengusut kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Komnas HAM menyayangkan kasus ini hanya menjerat tersangka dari unsur swasta selaku produsen obat.
Komnas HAM menilai penyelidikan kasus GGAPA mesti diperluas ke arah penyelenggara negara. Komnas HAM meyakini ada pihak penyelenggara negara yang lalai hingga menyebabkan terjadinya GGAPA.
"Hak untuk memperoleh keadilan juga terseok-seok, sampai hari ini hanya tersangkakan industri lalu dimana tersangka lain yang karena tugasnya tidak dilakukan dengan benar, tidak ada kontrol, ingin dapat pamor dari temuan padahal ada mekanisme yang harus dilakukan," kata Komisioner Komnas HAM Putu Elvina dalam diskusi soal tragedi obat beracun disimak pada Kamis (30/3).
Komnas HAM mensinyalir ada unsur pembiaran penyelenggara Negara yang menyebabkan jatuhnya korban GGAPA. Dalam kasus ini, BPOM sebenarnya punya tupoksi mencegah beredarnya obat berbahaya.
"Negara lakukan pembiaran dalam kasus ini," ujar Putu.
Komnas HAM memang menegaskan fatalnya kesalahan industri obat yang terlibat kasus GGAPA. Komnas HAM mendapati kesengajaan memasukkan zat berbahaya ke dalam obat yang ditujukan bagi anak.
"Pelanggaran pidana sengaja bukan kelalaian karena ada campurkan racun sebagai pelarut ke obat tersebut. Ini kejahatan kemanusian. Ini niat jahat industri untuk melanggar HAM," ujar Putu.
Dalam laporan terbarunya, Komnas HAM sudah menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM dalam kasus GGAPA. Salah satunya, pelanggaran hak atas informasi karena masyarakat kesulitan mendapatkan informasi atas obat yang aman. Kemudian, Komnas HAM menemukan pelanggaran hak hidup.
"Pelanggaran hak hidup termasuk penodaan terhadap kemanusian. Ini yang sakit seolah menunggu kematian. Setiap orang tua merasa waswas karena tidak ada kejelasan," ujar Putu.
Sebelumnya, keluarga korban GGAPA sudah melaporkan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan industri farmasi ke Komnas HAM sejak akhir tahun lalu. Mereka mendesak supaya kasus tersebut ditetapkan menjadi KLB.
Keluarga korban akhirnya mengajukan gugatan Class Action mewakili 25 korban ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak awal tahun ini. Penggugat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I merupakan keluarga dari pasien yang meninggal setelah mengonsumsi obat dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industry. Kelompok II adalah keluarga dari pasien pengonsumsi obat PT Afi Farma Pharmaceutical Industry yang masih dirawat. Sedangkan Kelompok III yaitu keluarga dari pasien yang meninggal tetapi obat yang diberikan berasal dari PT Universal Pharmaceutical Industry.
Gugatan ini ditujukan kepada sebelas pihak, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Kesehatan, CV Samudera Chemical, dan turut tergugat Kemenkeu. .
Tercatat, Kemenkes menyebutkan terdapat total 269 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia yang tercatat per 26 Oktober 2022. Dari total angka tersebut, sebanyak 73 kasus masih dirawat, 157 kasus meninggal dunia, dan sembuh 39 kasus.
Tercatat, Bareskrim telah menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu PT Afi Farma, CV Chemical Samudera, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama.
Adapun tersangka perorangan adalah Alvio Ignasio Gustan (AIG) selaku Direktur Utama CV APG, dan Aris Sanjaya (AS) selaku Direktur CV APG. Adapun dua tersangka lainnya yang sudah ditahan lebih dulu adalah Direktur Utama CV Samudera Chemical Endis (E) alias Pidit, Direktur CV Samudera Chemical Andri Rukmana (AR).