Sabtu 25 Mar 2023 09:00 WIB

Uni Eropa: Kemitraan Cina-Rusia Terbatas

Cina dan Rusia tidak membentuk sebuah aliansi militer.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
 Presiden China Xi Jinping (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan).
Foto: EPA-EFE/VLADIMIR ASTAPKOVICH / SPUTNIK / KREM
Presiden China Xi Jinping (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan, kemitraan Cina dengan Rusia terbatas meski retorika dua negara itu mengungkapkan sebaliknya. Ia mengatakan, Eropa akan menyambut baik setiap upaya Beijing menjaga jarak dari Moskow.

Pernyataan Borrell ini disampaikan usai Presiden Cina Xi Jinping bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow. Dua pemimpin itu mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas" pada Februari 2022 lalu, beberapa hari sebelum invasi Rusia ke Ukraina.

Baca Juga

Namun Borrell mengatakan meskipun Cina menjalin hubungan ekonomi dan diplomatik yang erat dengan Rusia. Tapi dua negara itu tidak membentuk aliansi militer dan Beijing tidak mengirimkan pasokan senjata untuk membantu perang Rusia di Ukraina.

"Pertemanan tidak terbatas ini tampaknya memiliki sejumlah batasan," kata Borrel di Brussels, Jumat (24/3/2023).

"Bagi kami Cina belum melewati batas apa pun," tambahnya.

Borrell juga mengatakan akan segera berkunjung ke China, tapi tanggalnya belum difinalisasi. Rencana ini membuatnya menjadi salah satu pemimpin Uni Eropa yang hendak berkunjung ke Cina.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez berencana terbang ke Cina pekan depan. Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, akan berkunjung bersama-sama ke Cina pada pekan berikutnya.

Borrell mengatakan usulan Beijing untuk mengakhiri perang di Ukraina menunjukkan Cina tidak ingin sepenuhnya bersekutu dengan Rusia dan Uni Eropa harus menyambut baik hal ini. Walaupun negara-negara Barat menegaskan tidak mempertimbangkan inisiatif Beijing sebagai rencana yang sepenuhnya matang.

Ia mengatakan, Cina lebih ingin berperan sebagai "fasilitator" dibandingkan mediator. Karena Rusia menyambut usulan Cina. "Cina muncul dalam peran yang saya kira harus kami dorong," kata Borrolls.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement