REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — China menjadi negara yang cukup mendominasi ekonomi dunia, dan dikenal dengan produk-produknya yang sangat terjangkau. Rendahnya harga yang dipatok, membuat banyak pesaing ketar-ketir, termasuk para pengrajin sepatu kulit Cibaduyut yang saat ini sudah banyak berkecimpung dalam pasar internasional.
“Khawatir iya, tapi kita yakin dengan kualitas yang kami tawarkan, dan itu (kualitas) yang kami utamakan. Ada harga ada kualitas,” ujar salah satu pengrajin sepatu kulit Cibaduyut Rudiana saat dihubungi Republika, Rabu (22/3/2023).
Meski begitu salah satu Ketua Komunitas Pengrajin Sepatu Kulit Cibaduyut ini memiliki siasat untuk dapat bersaing di tengah gempuran pasar global. Menurutnya, jika China mampu menawarkan produk dengan harga murah, maka dia akan memproduksi barang dengan harga yang tak kalah terjangkau, tanpa menanggalkan kualitas.
“Kita bisa ikuti dengan mematok harga yang murah dan tetap memanfaatkan bahan kulit berkualitas, dengan memanfaatkan limbah kulit sebagai bahan pembuatan souvenir,” jelasnya.
Bagi Rudiana, kesulitan yang banyak dialaminya juga para pengrajin Cibaduyut adalah kendala pemasaran. Karena, produksi bisa saja terus berjalan setiap hari, namun tidak semua barang laku terjual.
Menurutnya, banyak pengrajin yang sudah membuat produk kualitas tinggi, namun terpentok di pemasaran. Dia berharap, dengan penetapan Sentra Sepatu Kulit Cibaduyut sebagai Kampung Wisata Kreatif (KWK) Kota Bandung dapat membantu memasifkan promosi.
“Sekarang wisata sudah berangsur ada lagi, Cibaduyut juga sudah perlahan kembali lagi macet, karna kalau tidak macet berarti tidak ada pengunjung,” ujarnya.
Dia berharap, upaya promosi kampung wisata kreatif Cibaduyut yang saat ini tengah digencarkan Pemerintah Kota Bandung dapat berjalan efektif dan mampu membawa nama produk kulit Cibaduyut ke masa kejayaannya kembali.
Dia juga meminta agar Pemkot Bandung dapat menggencarkan pengadaan pelatihan dan pameran produk pengrajin Cibaduyut. “Semoga pengrajin kulit Cibaduyut bisa jaya kembali,” harapnya.
Dia juga mengaku telah bekerjasama dengan sejumlah agen perjalanan untuk menarik wisatawan menikmati program edukasi dan budaya di Cibaduyut. Rudiana menganggap, program edukasi pembuatan produk kulit cukup efektif untuk menarik minat para pengunjung untuk berbelanja di Cibaduyut.
“Kita ada kerjasama dengan trevel lewat wisata edukasi, kemarin ada (pengunjung) dari Singapore memang niatnya mau belanja tapi mereka ingin tau cara pembuatanya sampai di video, foto. Setelah itu mereka bisa tau kenapa produk kulit itu mahal, karena cara pembuatan dan prosesnya agak lama dan cukup sulit,” jelasnya.
Saat ditanya tentang jumlah pengrajin kulit yang saat ini masih eksis, pria yang aktif dalam komunitas pengrajin kulit Cibaduyut ini mengatakan, saat ini hanya 50 persen saja pengrajin yang masih bertahan. Dia memperkirakan, dari sekitar dua ribu pengrajin kulit di Kota Bandung, hanya sekitar ratusan saja yang eksis.
“Pengrajin kulit di Cibaduyut yang awalnya ada ratusan saja, sekarang tersisa sekitar 70-80 pengrajin saja, karna banyak yang berhenti produksi, bahkan ada yang sampai jadi jualan kopi, mie,” ujarnya.
Diketahui, China menjadi pemimpin dalam daftar negara manufaktur dikarenakan memiliki beberapa keunggulan. Dalam sektor e-commerce, Alibaba menguasai 60 persen pasar dan Tiktok menjadi sosial media milik China dengan jumlah pengguna terbesar kedua di dunia.
China juga diketahui memiliki siasat unik, yakni barang yang ditawarkan selalu memiliki harga yang murah. Umumnya, negara dengan ekonomi maju identik dengan barang yang mahal, tapi China justru menguasai pasar dunia berkat barangnya yang dijual dengan harga sangat murah.